Ketentuan Jual Beli dalam Islam [Lengkap]
9/05/2016
1. Arti Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
Suatu ketika Rasulullah SAW. ditanyai oleh seorang sahabat tentang pekerjaan yang paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan dengan baik.
Jual beli hendaknya dilakukan oleh pedagang yang mengerti ilmu fikih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua belah pihak. Khalifah Umar bin Khattab ra. sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di pasar. Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fikih karena takut jual beli yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.
2. Hukum Jual Beli
Jual beli sudah ada sejak dulu, meskipun bentuknya berbeda. Jual beli juga dibenarkan dan berlaku sejak zaman Rasulullah SAW. sampai sekarang. Jual beli mengalami perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli yang ada di masyarakat di antaranya adalah: jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang); money charger (pertukaran mata uang); jual beli kontan (langsung dibayar tunai); jual beli dengan cara mengangsur (kredit); jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat umum untuk mendapat harga tertinggi).
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT. telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275, Allah SWT. berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة: 275)
Artinya :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah: 275)
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW. juga bersabda:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُذْرِيّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه ابن ماجة)
Artinya :
“Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW. bersabda: sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas saling meridai.” (H.R. Ibnu Majah)
Namun demikian tidak semua jual beli diperbolehkan. Hal itu karena ada beberapa yang menjadikan jual beli tersebut terlarang atau bahkan dianjurkan. Berikut akan diterangkan tentang hukum jual beli secara terperinci. Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu sebagai berikut.
a. Mubah (boleh)
Hukum mubah merupakan hukum asal jual beli. Hal ini seperti jual beli beras, pakaian, gula, buku dengan mengikuti ketentuan Islam.b. Wajib
Contoh jual beli yang wajib adalah orang yang mengasuh anak yatim, menjual harta anak yatim tersebut untuk membiayai pendidikannya, karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya.c. Sunah
Contoh jual beli sunah adalah jual beli kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual.d. Haram
Contoh jual beli haram adalah jual beli barang maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.3. Rukun Jual Beli
Akad jual beli dianggap sah jika telah memenuhi suatu rukun. Adapun rukun jual beli menurut pendapat mayoritas Ulama ada empat, yaitu sebagai berikut.
a. Adanya penjual dan pembeli
b. Adanya uang dan benda yang dibeli
c. Adanya akad atau ijab qobul
d. Kerelaan dari kedua pihak (penjual dan pembeli)
Akad jual beli meliputi ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan). Ijab dan kabul ini merupakan hal penting dalam transaksi jual beli, karena hal ini dapat menunjukkan kerelaan antara penjual dan pembeli, mereka saling memberikan atau menyerahkan barang dan harganya.
4. Syarat Jual Beli
Adanya persyaratan dalam jual beli secara umum untuk menjaga kemaslahatan orang yang akad dan menghindari perselisihan akibat adanya unsur penipuan atau jual beli garar, agar antara pembeli dan penjual tidak ada yang dirugikan.
Sabda Rasulullah SAW.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم)
Artinya :
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi SAW. telah melarang memperjualbelikan barang yang mengandung tipu daya.”(HR. Muslim)
Jual beli dikatakan sah, bila memenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat jual beli adalah sebagai berikut.
a. Syarat atas Penjual dan Pembeli
1) Berakal sehat: tidak gila dan tidak bodoh.
Orang gila atau bodoh yang tidak mengerti hitungan tidak sah melakukan jual beli sebab dikhawatirkan terjadi penipuan. Allah SWT. berfirman di dalam surah an-Nisa ayat 5.
وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءُ أَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوْفًا (النساء: 5)
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. an-Nisa: 5)
2). Tidak dipaksa, tetapi atas dasar suka sama suka dan atas kehendak diri sendiri.
Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak ada paksaan.
Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه البيهقى وابن ماجة)
Artinya:
“Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas dasar saling meridai.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah)
3) Balig (dewasa atau sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk)
Orang yang melakukan akad atau transaksi jual beli adalah orang berakal sehat yang dapat membedakan atau memilih. Akad yang dilakukan oleh orang gila, orang mabuk, orang bodoh tidak sah. Adapun anak mumayyiz yang belum dewasa menurut ulama Syafi’iyah tidak dibolehkan melakukan akad, sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya.
b. Syarat atas Benda atau barang yang Dijual/Dibeli
1) Suci, tidak najis
Menurut jumhur ulama bahwa semua barang yang najis dan dilarang syarak seperti khamar, bangkai, babi, dan patung haram diperjualbelikan.
Berdasarkan hadis yang bersumber dari Jabir r.a, bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْنَامِ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
2) Barang tersebut memiliki manfaatnya
Islam melarang jual beli barang yang tidak memiliki manfaat, apalagi hanya sekedar untuk hura-hura atau kemubaziran.
3) Barang itu dapat diserahkan kepada pembeli
Tidak sah jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, atau tidak dapat diserahterimakan karena banyak kemungkinan menimbulkan unsur penipuan.
4) Barang itu milik penjual sendiri
Orang Islam yang taat tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya. Begitu juga barang pinjaman tidak boleh dijualbelikan kepada orang lain. Sama halnya juga barang kredit atau cicilan yang belum lunas tidak boleh dijual kepada orang lain.
5) Barang itu diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, atau sifatnya.
Rasulullah SAW. melarang jual beli yang belum diketahui wujud atau pun ukurannya. Hal itu akan menjadikan baik penjual atau pembeli merasa kecewa setelahnya. Seperti jual beli buah-buahan ketika buah tersebut belum terlihat hasilnya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. berikut.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ (رواه مسلم)
Artinya :
“Nabi telah melarang menjual buah-buahan sebelum buahnya tampak masak (pantas diambil).”(H.R.Muslim)
6) Baik barang maupun uang siap dibayarkan sesuai dengan ketentuan.
c. Syarat atas Ijab dan Kabul
Ijab adalah ucapan dari pihak penjual yang menawarkan barang daganganya. Contoh ucapan ijab adalah, “Saya jual barang ini dengan harga sekian”. Sedangkan Kabul adalah ucapan penerimaan atau persetujuan dari pihak pembeli, misalnya adalah, “Saya terima atau saya beli barang ini dengan harga sekian”. Ijab dan Kabul ini disebut dengan sighat akad atau ucapan tawar menawar.
Adapun syarat dalam sighat akad adalah sebagai berikut.
1) Kabul harus sesuai dengan ijab.
Yakni salah satu dari keduanya merupakan jawaban yang lain dan belum berselang lama.
2) Ada kesepakatan Ijab dengan Kabul pada barang yang dijual dan harganya.
Jika antara penjual dan pembeli tidak sepakat, maka akad atau jual beli tidak sah.
3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubunganya dengan akad. Tidak dikaitkan dengan waktu.
Jika seseorang melakukan jual beli dengan berwaktu seminggu atau sebulan, maka sah akad secara hukum, karena hal itu masih merupakan janji.
Bentuk akad atau Ijab Kabul dapat dilakukan dengan beberapa tingkatan sesuai dengan kelaziman jual beli. Ada akad yang cukup dengan isyarat atau ucapan lisan, tetapi ada yang harus dilakukan secara tertulis, karena memang ada jual beli yang transaksinya hanya terjadi jika dilakukan akad tertulis, baik dalam bentuk nota, kwitansi, atau kontrak perjanjian. Misalnya jual beli tanah, termasuk jual beli mobil atau motor, dan lain-lain. Meski demikian, ada baiknya tetap diperhatikan anjuran para ulama yang mengatakan, apapun jenis transaksinya, pengucapan Ijab Kabul perlu.