Mengenal Ayah dan Ibunda Rasulullah Saw
11/13/2015
Rasulullah SAW adalah manusia terbaik, pilihan dan
paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Tidak ada makhluk lain
yang mampu menyamai kehebatannya, baik dari segi lahir maupun batin.
Kehadirannya di bumi ini sudah sejak lama sangat ditunggu. Sebab, beliau
membawa berkah bagi seluruh manusia. Beliau ditugaskan oleh Allah SWT untuk
menyebarkan sekaligus menyempurnakan ajaran agama Islam. Beliau juga sebagai
penutup para nabi dan rasul. Artinya, setelah Rasulullah SAW wafat, sudah tidak
ada lagi nabi dan rasul.
Seperti apa ciri-ciri fisik Rasulullah SAW? Salah
seorang sahabat terdekat yang menjadi menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi
Thalib karamallahu wajhah menjelaskannya secara gamblang. Ali bin Abi Thalib
digelari karamallahu wajhah, sebab sepanjang hidupnya dia tidak pernah melihat
dan menyentuh alat kelaminnya sendiri. Karamallahu wajhah artinya semoga Allah
SWT senantiasa memuliakan wajahnya. Menurut Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW
tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Beliau tidak terlalu gemuk
dan tidak pula terlalu kurus. Perawakannnya bagus sebagai pria yang tampan.
Ali bin Abi Thalib menambahkan, badan Rasulullah SAW
tidak tambun. Wajahnya tidak bulat kecil. Warna kulitnya putih kemerah-merahan.
Sepasang matanya hitam. Bulu matanya panjang. Tulang kepala dan tulang antara
kedua pundaknya besar. Bulu badannya halus, memanjang dari pusar sampai dada.
Rambutnya sedikit. Kedua telapak tangan dan telapak kakinya tebal.
Segala keistimewaan dan kesempurnaan yang dimiliki
Rasulullah SAW tentunya tidak terlepas dari ayah dan ibunya, selain atas
kekuasaan dan anugerah dari Allah SWT. Ayah Rasulullah SAW bernama Abdullah.
Abdullah putra bungsu dari Abdul Muthalib. Abdul Muthalib anaknya Hasyim.
Hasyim memiliki ayah bernama Abdi Manaf. Abdi Manaf mempunyai bapak bernama
Qushaiy.
Qushaiy putra dari Kilab. Kilab anaknya Murrah. Murrah
memiliki ayah bernama Ka’ab. Jika ditarik terus ke atas, maka silsilah
Rasulullah SAW berujung pada Adnan, yakni anak keturunan Nabi Ismail alaihis
salam. Sedangkan Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim alaihis salam. Semua
nama yang telah disebutkan dikenal sebagai orang yang baik, mulia dan shalih. Pendek
kata, nasab (keturunan) Rasulullah SAW berasal dari orang-orang suci yang tidak
perlu diragukan lagi dan senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.
Saat remaja, Abdullah tumbuh sebagai seorang pemuda
yang ramah, sopan, jujur, tampan, gagah, pandai, bertanggung jawab, dan
berwibawa. Kepribadiannya sungguh mempesona dan luar biasa. Banyak wanita dan
gadis cantik di wilayah Mekkah dan sekitarnya yang menyukai dan berniat
menjadikannya suami. Apalagi, ayah Abdullah menjadi seorang pemimpin suku
Quraisy yang terbesar, terkemuka dan dihormati kelompok lainnya. Maka, tidak
ada alasan bagi wanita manapun untuk menolak Abdullah.
Ketika berusia 23 tahun, Abdullah akan dinikahkan oleh
bapaknya dengan Siti Aminah. Siti Aminah adalah putri dari Wahab. Wahab
memiliki bapak bernama Abdu Manaf. Abdu Manaf mempunyai ayah bernama Zuhrah.
Zuhrah ialah anak dari Kilab. Siti Aminah dikenal sebagai perempuan cantik yang
pintar, pandai menjaga kehormatan diri dan keluarga serta berakhlak baik.
Singkat cerita, Siti Aminah berasal dari keluarga terpandang.
Abdullah sama sekali tidak menolak perjodohan itu.
Maka, pesta pernikahan pun digelar. Banyak tamu undangan yang hadir untuk
memberikan doa restu kepada kedua mempelai. Setelah menikah, Abdullah hanya
tiga hari tinggal di rumah mertuanya. Pada hari keempat, Abdullah bersama
istrinya kembali ke Mekkah. Mereka tinggal dan hidup rukun di pemukiman
ayahnya, Abdul Muthalib.
Keluarga Abdul Muthalib terkenal gemar berdagang ke
negara lain. Tiga bulan kemudian, Abdullah meminta izin kepada istri dan
bapaknya. Abdullah akan berangkat berdagang bersama rombongan kabilah Quraisy
ke Negeri Syam. Ia menyadari tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya.
Sementara itu, Siti Aminah tetap tinggal bersama mertuanya. Ketika itu, Siti
Aminah sudah hamil. Perjalanan jauh yang akan ditempuh Abdullah dan rombongan
memakan waktu dua bulan, pulang-pergi.
Setelah sampai di Negeri Syam, Abdullah berjualan
selama beberapa bulan. Bekal dan modal yang sedikit tidak menjadi halangan bagi
Abdullah. Berkat keuletan, kesabaran dan kepandaiannya dalam berniaga, ia
berhasil meraih keuntungan lumayan. Sudah tiba waktunya Abdullah dan rombongan
pulang ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, mereka melintasi Kota Madinah.
Abdullah menyempatkan diri beberapa hari beristirahat sekalian berkunjung ke
rumah kerabatnya di Madinah.
Dalam masa persinggahan itu, tiba-tiba Abdullah jatuh
sakit. Ia dirawat oleh saudara-saudaranya. Hari demi hari anggota rombongannya
menanti Abdullah dengan harap-harap cemas. Mereka berdoa demi kesembuhan
Abdullah. Namun, bukan kesembuhan yang terjadi. Sakit Abdullah justru bertambah
parah. Akhirnya sebagian rombongan memilih pulang terlebih dahulu ke Mekkah.
Sebab, mereka sudah ditunggu-tunggu oleh istri, anak, dan keluarganya.
Kehadiran sebagian rombongan Quraisy di Mekkah disambut
meriah. Mereka berpelukan, melepas perasaan kangen kepada orang-orang yang
dicintainya. Di tengah suasana gembira, ada kabar yang kurang enak. Beberapa
orang dari rombongan melaporkan bahwa Abdullah sakit keras di Madinah. Abdul
Muthalib dan Siti Aminah yang sejak tadi mencari Abdullah, seketika tertegun.
Keduanya seakan tak percaya dengan kabar itu. Abdul Muthalib dan Siti Aminah
menjadi sangat bersedih. Pikirannya langsung tertuju pada kondisi orang yang
sangat dikasihinya itu.
Abdul Muhtalib lantas mengutus putra sulungnya,
Al-Haris, untuk menjemput Abdullah. Al-Haris ditemani sejumlah kerabat pergi ke
Madinah. Misi mereka untuk mengurus dan membawa pulang Abdullah ke Mekkah.
Tetapi, ketika Al-Haris beserta rombongan tiba di Madinah, Allah SWT
menakdirkan lain. Abdullah wafat di usia muda, setelah menderita sakit kurang
lebih dua bulan. Jenazahnya diurus oleh kerabatnya, kemudian dimakamkan di
Madinah.
Al-Haris beserta rombongan kembali ke Mekkah dengan
perasaan duka yang mendalam. Al-Haris tak dapat membayangkan perasaan hati ayah
dan adik iparnya. Dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah, Al-Haris membawa
harta benda milik Abdullah dari hasil berjualan. Barang-barang kepunyaan
Abdullah terdiri atas lima ekor unta dan beberapa ekor kambing. Salah seorang
perempuan bernama Ummu Aiman ikut dalam rombongan itu.
Sesampainya di Mekkah, mulanya Al-Haris tidak berani
mengatakan kondisi Abdullah yang sebenarnya kepada sang ayah. Namun naluri
Abdul Muthalib dan Siti Aminah seolah sudah menangkapnya. Apalagi kehadiran
mereka tanpa disertai Abdullah, orang yang sangat dinantikannya. Begitu
Al-Haris selesai menceritakan kronologisnya, Abdul Muthalib sangat terpukul.
Siti Aminah yang sedang mengandung anak pertamanya, tentu lebih sedih lagi. Matanya
berkaca-kaca.
Bagi Abdul Muthalib, Abdullah yang menjadi putra
kesayangannya itu suatu saat akan dicalonkan untuk menggantikan posisinya
sebagai pemimpin suku. Tapi, semua impian manis itu pudar. Abdul Muthalib tidak
sanggup berkata apapun. Hanya Allah SWT yang diingatnya. Hatinya baru agak
terhibur setelah melihat menantunya lebih tabah dan sabar menghadapi cobaan
berat. Abdul Muthalib berharap, kehadiran cucunya bisa mengobati kesedihan luka
hatinya.
Waktu terus berlalu. Semakin hari kandungan Siti Aminah
kian membesar. Masa-masa kelahiran segera tiba. Abdul Muthalib tak sabar ingin
segera menimang cucunya. Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah,
Siti Aminah melahirkan seorang putra. Siti Aminah bahagia sekali anak yang
dilahirkannya dalam kondisi sehat dan selamat. Pada saat yang bersamaan, ia
sedih lantaran ayah sang bayi itu telah tiada. Bayi itu tidak bisa melihat
wajah ayahnya, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, Muhammad adalah
satu-satunya putra Abdullah.
Kesedihan Abdul Muthalib sirna seiring lahirnya sang
cucu. Bayi istimewa itu kemudian diberi nama Muhammad. Muhammad artinya orang
yang sangat terpuji. Saking gembira dan untuk menunjukkan rasa syukurnya, Abdul
Muthalib membawa Muhammad berthawaf. Thawaf artinya mengelilingi Kabah yang ada
di Mekkah sebanyak tujuh kali putaran sambil membaca doa.
Kehadiran Muhammad disambut gembira oleh banyak orang.
Ia dicintai oleh siapapun yang melihatnya. Ia disayangi oleh orang-orang yang
menimangnya, terlebih Siti Aminah dan Abdul Muthalib. Muhammad tumbuh menjadi
anak yang cerdas. Ketika berumur 6 tahun, Muhammad diajak ibunya berkunjung ke
rumah saudaranya di Madinah. Ummu Aiman ikut bersamanya. Mereka menaiki dua
ekor unta. Kurang lebih tiga bulan mereka berada di Madinah. Dalam kesempatan
itu, Siti Aminah menunjukkan makam bapaknya kepada Muhammad.
Dalam perjalanan pulang dari Madinah, Muhammad kecil
kembali ditimpa cobaan. Ibunda tercintanya wafat di Abwa, lalu dikebumikan di
tempat itu. Muhammad lantas dibawa pulang ke Mekkah. Abdul Muthalib kembali
bersedih. Peristiwa kematian itu membuat cinta dan kasih sayangnya semakin
besar kepada Muhammad yang sudah yatim piatu. Namun, Muhammad tidak berlangsung
lama dalam asuhan Abdul Muthalib. Kakeknya itu meninggal dunia ketika Muhammad
berusia 8 tahun. Selanjutnya Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Oleh Lukman Hakim Zuhdi dalam
komunitasamam.wordpress.com, 8/5/09