-->

Mengenal Ayah dan Ibunda Rasulullah Saw

Rasulullah SAW adalah manusia terbaik, pilihan dan paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Tidak ada makhluk lain yang mampu menyamai kehebatannya, baik dari segi lahir maupun batin. Kehadirannya di bumi ini sudah sejak lama sangat ditunggu. Sebab, beliau membawa berkah bagi seluruh manusia. Beliau ditugaskan oleh Allah SWT untuk menyebarkan sekaligus menyempurnakan ajaran agama Islam. Beliau juga sebagai penutup para nabi dan rasul. Artinya, setelah Rasulullah SAW wafat, sudah tidak ada lagi nabi dan rasul.

Seperti apa ciri-ciri fisik Rasulullah SAW? Salah seorang sahabat terdekat yang menjadi menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menjelaskannya secara gamblang. Ali bin Abi Thalib digelari karamallahu wajhah, sebab sepanjang hidupnya dia tidak pernah melihat dan menyentuh alat kelaminnya sendiri. Karamallahu wajhah artinya semoga Allah SWT senantiasa memuliakan wajahnya. Menurut Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Beliau tidak terlalu gemuk dan tidak pula terlalu kurus. Perawakannnya bagus sebagai pria yang tampan.

Ali bin Abi Thalib menambahkan, badan Rasulullah SAW tidak tambun. Wajahnya tidak bulat kecil. Warna kulitnya putih kemerah-merahan. Sepasang matanya hitam. Bulu matanya panjang. Tulang kepala dan tulang antara kedua pundaknya besar. Bulu badannya halus, memanjang dari pusar sampai dada. Rambutnya sedikit. Kedua telapak tangan dan telapak kakinya tebal.

Segala keistimewaan dan kesempurnaan yang dimiliki Rasulullah SAW tentunya tidak terlepas dari ayah dan ibunya, selain atas kekuasaan dan anugerah dari Allah SWT. Ayah Rasulullah SAW bernama Abdullah. Abdullah putra bungsu dari Abdul Muthalib. Abdul Muthalib anaknya Hasyim. Hasyim memiliki ayah bernama Abdi Manaf. Abdi Manaf mempunyai bapak bernama Qushaiy.

Qushaiy putra dari Kilab. Kilab anaknya Murrah. Murrah memiliki ayah bernama Ka’ab. Jika ditarik terus ke atas, maka silsilah Rasulullah SAW berujung pada Adnan, yakni anak keturunan Nabi Ismail alaihis salam. Sedangkan Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim alaihis salam. Semua nama yang telah disebutkan dikenal sebagai orang yang baik, mulia dan shalih. Pendek kata, nasab (keturunan) Rasulullah SAW berasal dari orang-orang suci yang tidak perlu diragukan lagi dan senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.

Saat remaja, Abdullah tumbuh sebagai seorang pemuda yang ramah, sopan, jujur, tampan, gagah, pandai, bertanggung jawab, dan berwibawa. Kepribadiannya sungguh mempesona dan luar biasa. Banyak wanita dan gadis cantik di wilayah Mekkah dan sekitarnya yang menyukai dan berniat menjadikannya suami. Apalagi, ayah Abdullah menjadi seorang pemimpin suku Quraisy yang terbesar, terkemuka dan dihormati kelompok lainnya. Maka, tidak ada alasan bagi wanita manapun untuk menolak Abdullah.

Ketika berusia 23 tahun, Abdullah akan dinikahkan oleh bapaknya dengan Siti Aminah. Siti Aminah adalah putri dari Wahab. Wahab memiliki bapak bernama Abdu Manaf. Abdu Manaf mempunyai ayah bernama Zuhrah. Zuhrah ialah anak dari Kilab. Siti Aminah dikenal sebagai perempuan cantik yang pintar, pandai menjaga kehormatan diri dan keluarga serta berakhlak baik. Singkat cerita, Siti Aminah berasal dari keluarga terpandang.

Abdullah sama sekali tidak menolak perjodohan itu. Maka, pesta pernikahan pun digelar. Banyak tamu undangan yang hadir untuk memberikan doa restu kepada kedua mempelai. Setelah menikah, Abdullah hanya tiga hari tinggal di rumah mertuanya. Pada hari keempat, Abdullah bersama istrinya kembali ke Mekkah. Mereka tinggal dan hidup rukun di pemukiman ayahnya, Abdul Muthalib.

Keluarga Abdul Muthalib terkenal gemar berdagang ke negara lain. Tiga bulan kemudian, Abdullah meminta izin kepada istri dan bapaknya. Abdullah akan berangkat berdagang bersama rombongan kabilah Quraisy ke Negeri Syam. Ia menyadari tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya. Sementara itu, Siti Aminah tetap tinggal bersama mertuanya. Ketika itu, Siti Aminah sudah hamil. Perjalanan jauh yang akan ditempuh Abdullah dan rombongan memakan waktu dua bulan, pulang-pergi.

Setelah sampai di Negeri Syam, Abdullah berjualan selama beberapa bulan. Bekal dan modal yang sedikit tidak menjadi halangan bagi Abdullah. Berkat keuletan, kesabaran dan kepandaiannya dalam berniaga, ia berhasil meraih keuntungan lumayan. Sudah tiba waktunya Abdullah dan rombongan pulang ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, mereka melintasi Kota Madinah. Abdullah menyempatkan diri beberapa hari beristirahat sekalian berkunjung ke rumah kerabatnya di Madinah.

Dalam masa persinggahan itu, tiba-tiba Abdullah jatuh sakit. Ia dirawat oleh saudara-saudaranya. Hari demi hari anggota rombongannya menanti Abdullah dengan harap-harap cemas. Mereka berdoa demi kesembuhan Abdullah. Namun, bukan kesembuhan yang terjadi. Sakit Abdullah justru bertambah parah. Akhirnya sebagian rombongan memilih pulang terlebih dahulu ke Mekkah. Sebab, mereka sudah ditunggu-tunggu oleh istri, anak, dan keluarganya.

Kehadiran sebagian rombongan Quraisy di Mekkah disambut meriah. Mereka berpelukan, melepas perasaan kangen kepada orang-orang yang dicintainya. Di tengah suasana gembira, ada kabar yang kurang enak. Beberapa orang dari rombongan melaporkan bahwa Abdullah sakit keras di Madinah. Abdul Muthalib dan Siti Aminah yang sejak tadi mencari Abdullah, seketika tertegun. Keduanya seakan tak percaya dengan kabar itu. Abdul Muthalib dan Siti Aminah menjadi sangat bersedih. Pikirannya langsung tertuju pada kondisi orang yang sangat dikasihinya itu.

Abdul Muhtalib lantas mengutus putra sulungnya, Al-Haris, untuk menjemput Abdullah. Al-Haris ditemani sejumlah kerabat pergi ke Madinah. Misi mereka untuk mengurus dan membawa pulang Abdullah ke Mekkah. Tetapi, ketika Al-Haris beserta rombongan tiba di Madinah, Allah SWT menakdirkan lain. Abdullah wafat di usia muda, setelah menderita sakit kurang lebih dua bulan. Jenazahnya diurus oleh kerabatnya, kemudian dimakamkan di Madinah.

Al-Haris beserta rombongan kembali ke Mekkah dengan perasaan duka yang mendalam. Al-Haris tak dapat membayangkan perasaan hati ayah dan adik iparnya. Dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah, Al-Haris membawa harta benda milik Abdullah dari hasil berjualan. Barang-barang kepunyaan Abdullah terdiri atas lima ekor unta dan beberapa ekor kambing. Salah seorang perempuan bernama Ummu Aiman ikut dalam rombongan itu.

Sesampainya di Mekkah, mulanya Al-Haris tidak berani mengatakan kondisi Abdullah yang sebenarnya kepada sang ayah. Namun naluri Abdul Muthalib dan Siti Aminah seolah sudah menangkapnya. Apalagi kehadiran mereka tanpa disertai Abdullah, orang yang sangat dinantikannya. Begitu Al-Haris selesai menceritakan kronologisnya, Abdul Muthalib sangat terpukul. Siti Aminah yang sedang mengandung anak pertamanya, tentu lebih sedih lagi. Matanya berkaca-kaca.

Bagi Abdul Muthalib, Abdullah yang menjadi putra kesayangannya itu suatu saat akan dicalonkan untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin suku. Tapi, semua impian manis itu pudar. Abdul Muthalib tidak sanggup berkata apapun. Hanya Allah SWT yang diingatnya. Hatinya baru agak terhibur setelah melihat menantunya lebih tabah dan sabar menghadapi cobaan berat. Abdul Muthalib berharap, kehadiran cucunya bisa mengobati kesedihan luka hatinya.

Waktu terus berlalu. Semakin hari kandungan Siti Aminah kian membesar. Masa-masa kelahiran segera tiba. Abdul Muthalib tak sabar ingin segera menimang cucunya. Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah, Siti Aminah melahirkan seorang putra. Siti Aminah bahagia sekali anak yang dilahirkannya dalam kondisi sehat dan selamat. Pada saat yang bersamaan, ia sedih lantaran ayah sang bayi itu telah tiada. Bayi itu tidak bisa melihat wajah ayahnya, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, Muhammad adalah satu-satunya putra Abdullah.

Kesedihan Abdul Muthalib sirna seiring lahirnya sang cucu. Bayi istimewa itu kemudian diberi nama Muhammad. Muhammad artinya orang yang sangat terpuji. Saking gembira dan untuk menunjukkan rasa syukurnya, Abdul Muthalib membawa Muhammad berthawaf. Thawaf artinya mengelilingi Kabah yang ada di Mekkah sebanyak tujuh kali putaran sambil membaca doa.

Kehadiran Muhammad disambut gembira oleh banyak orang. Ia dicintai oleh siapapun yang melihatnya. Ia disayangi oleh orang-orang yang menimangnya, terlebih Siti Aminah dan Abdul Muthalib. Muhammad tumbuh menjadi anak yang cerdas. Ketika berumur 6 tahun, Muhammad diajak ibunya berkunjung ke rumah saudaranya di Madinah. Ummu Aiman ikut bersamanya. Mereka menaiki dua ekor unta. Kurang lebih tiga bulan mereka berada di Madinah. Dalam kesempatan itu, Siti Aminah menunjukkan makam bapaknya kepada Muhammad.

Dalam perjalanan pulang dari Madinah, Muhammad kecil kembali ditimpa cobaan. Ibunda tercintanya wafat di Abwa, lalu dikebumikan di tempat itu. Muhammad lantas dibawa pulang ke Mekkah. Abdul Muthalib kembali bersedih. Peristiwa kematian itu membuat cinta dan kasih sayangnya semakin besar kepada Muhammad yang sudah yatim piatu. Namun, Muhammad tidak berlangsung lama dalam asuhan Abdul Muthalib. Kakeknya itu meninggal dunia ketika Muhammad berusia 8 tahun. Selanjutnya Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.

Oleh Lukman Hakim Zuhdi dalam komunitasamam.wordpress.com, 8/5/09

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel