Gua Hira; Tempat Rasulullah Saw Mengasingkan Diri
11/13/2015
Gua Hira terletak di atas Jabal Nur (gunung cahaya).
Tak sedikit jamaah haji dari berbagai negara yang nekat mengunjungi tempat itu,
meski untuk mencapainya butuh perjuangan ekstra dan keyakinan hati. Di lokasi
itulah, pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT, pada
malam 17 Ramadhan. Kala itu, Malaikat Jibril menyerahkan Surat Al Alaq kepada
Nabi Muhammad SAW. Berikut ini isi atau arti lengkap dari Surat Al Alaq:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia, yang mengajarkan kamu dengan pena, apa
yang belum diketahuinya.”
Tujuan Menziarahi Gua Hira
Gua tempat Rasulullah bertahanus (berdiam diri sebelum
dan sesudah menjadi nabi dan rasul) itu berada sekitar enam kilometer di luar
Kota Mekkah, Arab Saudi, dan pada ketinggian 2500 dari kaki Jabal Nur. Dari
puncak Jabal Nur, pemandangan Kota Mekkah dan Masjidil Haram bisa terlihat
jelas. Untuk menziarahinya, jamaah haji harus mendaki kurang lebih selama 1 jam
dari dasar gunung. Medannya cukup sulit. Tidak ada titian tangga yang teratur
dan bertingkat, yang ada hanya batu-batu cadas besar.
Setiba di puncak Jabal Nur, mereka masih harus turun
lagi ke lokasi sebelum sampai di mulut Gua Hira. Setelah itu, mereka harus
berjalan miring dan berebut. Maklum, pintu menuju gua hanya selebar dua
jengkal. Di dalam gua sangat sempit dan gelap, hanya cukup 4 orang. Saat ini,
di samping gua itu terdapat tulisan ‘Ghor Khira’ berwarna merah yang berarti
Gua Hira. Di atas tulisan itu juga dituliskan dua ayat awal Surat Al Alaq
dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping tulisan itu.
Memang beragam tujuan para peziarah untuk nekat mendaki
gunung ini. Ada jamaah yang meyakini mereka mendapatkan berkah di dalam gua
Hira. Ada jamaah yang ingin melakukan salat di atas gunung. Ada jamaah yang
ingin merasakan seberapa berat perjalanan Rasulullah ke puncak gunung itu. Ada
pula yang hanya penasaran dengan gunung yang selalu jadi rebutan peziarah ini.
Sebenarnya, pemerintah Arab Saudi tidak menganjurkan para peziarah untuk
mendaki gunung ini. Ini terlihat pada papan pengumuman di jalan masuk menuju
gunung. Imbauan ini ditulis dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
”Saudara kaum muslim yang berbahagia: Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan kita untuk naik ke atas gunung ini. Begitu pula salat, mengusap batunya, mengikat pohon-pohonnya, dan mengambil tanah, batu, dan pohonnya. Dan kebaikan adalah dengan mengikuti sunah Nabi SAW, maka janganlah Anda menyalahinya.” Begitulah kalimat yang tertulis di papan pengumuman yang resmi dikeluarkan pemerintah Arab Saudi. Meski ada himbauan tersebut, namun jamaah haji seperti tidak mempedulikannya.
Membawa Bekal
Jabal Nur merupakan tempat yang acap didatangi beberapa
tokoh dan begawan pada zaman dahulu. Waraqah bin Naufal bin Asad bin
Abdul-Uzza, anak paman Siti Khadijah, termasuk yang pernah ke sana. Di Jabal
Nur, banyak berkeliaran gelandangan, pengemis dan orang miskin di sisi kiri dan
kanan jalan yang mengharap sepotong roti, seteguk air dan sedekah dari orang
yang mendatanginya. Mereka berasal dari desa-desa miskin yang tidak jauh dari
Mekkah. Rasulullah selalu menyantuni sekaligus memberi mereka bekal yang dibawanya
dari rumah.
Jabal Nur terdiri atas batu hitam tajam. Tingginya 200
meter dengan puncak berbentuk cembung. Gua Hira terletak sekitar 40 meter di
bawah pucuk Jabal Nur. Gua dangkal itu tingginya tidak sampai semeter. Lebarnya
berkisar satu hasta (50 centimeter),
sementara panjangnya kira-kira dua meter. Di tempat sempit yang terletak
di sebelah utara Mekkah itu, Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri. Beliau selalu
mencari jalan keluar dan memikirkan keadaan sukunya yang sudah melupakan ajaran
Nabi Ibrahim alaihis salam.
Cara Malaikat Jibril Menyampaikan Wahyu
Budaya mengasingkan diri demi mendekatkan pribadi
kepada hal-hal gaib merupakan kebiasaan orang-orang Arab yang memiliki
kecerdasan iman. Mereka bertapa serta berdiam di gunung-gunung yang jauh dari
keramaian. Tradisi yang dilakukan tiap tahun di bulan Ramadan tersebut
bertujuan agar mereka diberi harta atau ilmu. Satu malam Malaikat Jibril tiba
di Gua Hira ketika Muhammad tengah lelap. Saat terjaga, cucu Abdul Muthalib itu
terkejut. Dia bingung serta takut ketika sosok perkasa nan rupawan itu
menyodorkan untaian alfabet pada lempengan kristal yang memancarkan cahaya
hijau memukau.
Malaikat Jibril lantas berujar: “Iqra (bacalah).” Muhammad yang salah duga lalu menjawab: “Ma ana biqirain” (saya tak bisa membaca). Dia menyangka bahwa Jibril menyuruhnya membaca, padahal yang dimaksud yaitu supaya Muhammad mengikuti bacaannya. “Iqra,” tandas Jibril sekali lagi. Hati Muhammad campur aduk, makin kencang berdegup karena dia tak kuasa menelisik pesan yang dibawa Malaikat Jibril dari Sidratul Muntaha.
Dengan tubuh gemetar dan jantung yang berdebar,
Muhammad kemudian menjawab: “Ma ana biqirain.” Jibril kembali mendesaknya:
“Iqra.” Muhammad kian ketakutan, tetapi dia tetap menjawab: “Ma ana biqirain.”
Jibril menatap wajahnya yang salah sangka itu. Muhammad tertegun. Sekelebat,
dia sekonyong-konyong mafhum jika yang dimaksud oleh makhluk itu bukan menyuruh
membaca, namun bersama-sama melantunkan ayat yang dibawanya.
Dengan suara merdu dan berwibawa, Jibril dengan
Muhammad lantas membahanakan firman Allah di lekuk-liku cadas Jabal Nur: “Iqra
bismirabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu).” Selama beberapa menit,
Muhammad lari terbirit-birit saat Jibril balik ke langit. Muhammad
pontang-panting menuju ke rumahnya di tengah malam yang teramat benderang oleh
kilau bintang dan rembulan. Putra Abdullah itu tak menyadari kalau dirinya baru
saja dilantik sebagai tuan segala umat. Dia telah ditahbiskan sebagai pembawa
risalah ilahi dan penutup para utusan Allah SWT yang dimulai sejak era Nabi
Adam alaihis salam hingga hari kiamat nanti.
Dikutip dari komunitasamam.wordpress.com, 14/5/09; foto: tempo.co