-->

Gua Hira; Tempat Rasulullah Saw Mengasingkan Diri

Gua Hira terletak di atas Jabal Nur (gunung cahaya). Tak sedikit jamaah haji dari berbagai negara yang nekat mengunjungi tempat itu, meski untuk mencapainya butuh perjuangan ekstra dan keyakinan hati. Di lokasi itulah, pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT, pada malam 17 Ramadhan. Kala itu, Malaikat Jibril menyerahkan Surat Al Alaq kepada Nabi Muhammad SAW. Berikut ini isi atau arti lengkap dari Surat Al Alaq: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia, yang mengajarkan kamu dengan pena, apa yang belum diketahuinya.”

Tujuan Menziarahi Gua Hira

Gua tempat Rasulullah bertahanus (berdiam diri sebelum dan sesudah menjadi nabi dan rasul) itu berada sekitar enam kilometer di luar Kota Mekkah, Arab Saudi, dan pada ketinggian 2500 dari kaki Jabal Nur. Dari puncak Jabal Nur, pemandangan Kota Mekkah dan Masjidil Haram bisa terlihat jelas. Untuk menziarahinya, jamaah haji harus mendaki kurang lebih selama 1 jam dari dasar gunung. Medannya cukup sulit. Tidak ada titian tangga yang teratur dan bertingkat, yang ada hanya batu-batu cadas besar.

Setiba di puncak Jabal Nur, mereka masih harus turun lagi ke lokasi sebelum sampai di mulut Gua Hira. Setelah itu, mereka harus berjalan miring dan berebut. Maklum, pintu menuju gua hanya selebar dua jengkal. Di dalam gua sangat sempit dan gelap, hanya cukup 4 orang. Saat ini, di samping gua itu terdapat tulisan ‘Ghor Khira’ berwarna merah yang berarti Gua Hira. Di atas tulisan itu juga dituliskan dua ayat awal Surat Al Alaq dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping tulisan itu.

Memang beragam tujuan para peziarah untuk nekat mendaki gunung ini. Ada jamaah yang meyakini mereka mendapatkan berkah di dalam gua Hira. Ada jamaah yang ingin melakukan salat di atas gunung. Ada jamaah yang ingin merasakan seberapa berat perjalanan Rasulullah ke puncak gunung itu. Ada pula yang hanya penasaran dengan gunung yang selalu jadi rebutan peziarah ini. Sebenarnya, pemerintah Arab Saudi tidak menganjurkan para peziarah untuk mendaki gunung ini. Ini terlihat pada papan pengumuman di jalan masuk menuju gunung. Imbauan ini ditulis dalam beberapa bahasa,  termasuk bahasa Indonesia.

”Saudara kaum muslim yang berbahagia: Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan kita untuk naik ke atas gunung ini.  Begitu pula salat, mengusap batunya, mengikat pohon-pohonnya, dan mengambil tanah, batu, dan pohonnya. Dan kebaikan adalah dengan mengikuti sunah Nabi SAW, maka janganlah Anda menyalahinya.” Begitulah kalimat yang tertulis di papan pengumuman yang resmi dikeluarkan pemerintah Arab Saudi. Meski ada himbauan tersebut, namun jamaah haji seperti tidak mempedulikannya.

Membawa Bekal

Jabal Nur merupakan tempat yang acap didatangi beberapa tokoh dan begawan pada zaman dahulu. Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul-Uzza, anak paman Siti Khadijah, termasuk yang pernah ke sana. Di Jabal Nur, banyak berkeliaran gelandangan, pengemis dan orang miskin di sisi kiri dan kanan jalan yang mengharap sepotong roti, seteguk air dan sedekah dari orang yang mendatanginya. Mereka berasal dari desa-desa miskin yang tidak jauh dari Mekkah. Rasulullah selalu menyantuni sekaligus memberi mereka bekal yang dibawanya dari rumah.

Jabal Nur terdiri atas batu hitam tajam. Tingginya 200 meter dengan puncak berbentuk cembung. Gua Hira terletak sekitar 40 meter di bawah pucuk Jabal Nur. Gua dangkal itu tingginya tidak sampai semeter. Lebarnya berkisar satu hasta (50 centimeter),  sementara panjangnya kira-kira dua meter. Di tempat sempit yang terletak di sebelah utara Mekkah itu, Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri. Beliau selalu mencari jalan keluar dan memikirkan keadaan sukunya yang sudah melupakan ajaran Nabi Ibrahim alaihis salam.

Cara Malaikat Jibril Menyampaikan Wahyu

Budaya mengasingkan diri demi mendekatkan pribadi kepada hal-hal gaib merupakan kebiasaan orang-orang Arab yang memiliki kecerdasan iman. Mereka bertapa serta berdiam di gunung-gunung yang jauh dari keramaian. Tradisi yang dilakukan tiap tahun di bulan Ramadan tersebut bertujuan agar mereka diberi harta atau ilmu. Satu malam Malaikat Jibril tiba di Gua Hira ketika Muhammad tengah lelap. Saat terjaga, cucu Abdul Muthalib itu terkejut. Dia bingung serta takut ketika sosok perkasa nan rupawan itu menyodorkan untaian alfabet pada lempengan kristal yang memancarkan cahaya hijau memukau.

Malaikat Jibril lantas berujar: “Iqra (bacalah).” Muhammad yang salah duga lalu menjawab: “Ma ana biqirain” (saya tak bisa membaca). Dia menyangka bahwa Jibril menyuruhnya membaca, padahal yang dimaksud yaitu supaya Muhammad mengikuti bacaannya. “Iqra,” tandas Jibril sekali lagi. Hati Muhammad campur aduk, makin kencang berdegup karena dia tak kuasa menelisik pesan yang dibawa Malaikat Jibril dari Sidratul Muntaha.

Dengan tubuh gemetar dan jantung yang berdebar, Muhammad kemudian menjawab: “Ma ana biqirain.” Jibril kembali mendesaknya: “Iqra.” Muhammad kian ketakutan, tetapi dia tetap menjawab: “Ma ana biqirain.” Jibril menatap wajahnya yang salah sangka itu. Muhammad tertegun. Sekelebat, dia sekonyong-konyong mafhum jika yang dimaksud oleh makhluk itu bukan menyuruh membaca, namun bersama-sama melantunkan ayat yang dibawanya.

Dengan suara merdu dan berwibawa, Jibril dengan Muhammad lantas membahanakan firman Allah di lekuk-liku cadas Jabal Nur: “Iqra bismirabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu).” Selama beberapa menit, Muhammad lari terbirit-birit saat Jibril balik ke langit. Muhammad pontang-panting menuju ke rumahnya di tengah malam yang teramat benderang oleh kilau bintang dan rembulan. Putra Abdullah itu tak menyadari kalau dirinya baru saja dilantik sebagai tuan segala umat. Dia telah ditahbiskan sebagai pembawa risalah ilahi dan penutup para utusan Allah SWT yang dimulai sejak era Nabi Adam alaihis salam hingga hari kiamat nanti.

Dikutip dari komunitasamam.wordpress.com, 14/5/09; foto: tempo.co

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel