Abu Dzar al-Ghifari; Hidup Mulia dalam Kesederhanaan
11/13/2015
Abu Dzar Al Ghifari tergolong sahabat Rasulullah SAW
yang unik. Nama asalnya Jundub bin Junadah. Dia berasal dari Suku Ghifar di
bukit Waddan, dekat Kota Mekkah, dan besar dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat yang sangat memuja berhala. Namun, sejak kecil dan belum mengenal
Islam, dia sudah menjadi penentang pendewaan terhadap berhala. Alasannya,
menyembah berhala merupakan kepercayaan yang tidak masuk akal. Berhala hanyalah
batu-batu besar hasil pahatan tangan manusia yang dijadikan Tuhan. Menurutnya,
tidak mungkin benda mati itu setiap saat bisa menolong para penyembahnya.
Abu Dzar termasuk pemuda pemberani, cerdas dan
berpandangan jauh. Di pinggangnya selalu tergantung sebuah pedang panjang yang
tajam untuk merampok. Dia pertama kali bersentuhan dengan nama Islam ketika
mendengar kabar bahwa di Mekkah ada seorang pria yang mengaku dirinya nabi. Dia
berharap, pria itu kelak bisa mengubah hati, pikiran, kepercayaan, dan jalan
hidup sukunya dari lorong kegelapan, terutama untuk dirinya. Dia kemudian
meminta Anis, adiknya, untuk segera pergi ke Mekkah, mencari kebenaran berita
itu. Anis mengikuti perintah kakaknya dan dapat berjumpa Rasulullah.
Selang beberapa hari, Anis kembali ke kampungnya. Dia
menyampaikan kepada Abu Dzar apa yang dilihat dan didengarnya di Mekkah. Anis
menyimpulkan, pria yang ditemuinya adalah sosok yang rendah hati, bersahaja,
dan kalimat yang meluncur dari mulutnya bukanlah puisi atau syair yang dibuat
manusia. Mendengar hal tersebut, Abu Dzar sangat tertarik dan memutuskan untuk
melihat sendiri ke Mekkah. Tetapi, Anis memperingatkannya untuk berhati-hati
terhadap orang Mekkah yang membenci pria bernama Muhammad itu.
Abu Dzar Tidur di Dekat Kabah
Di Mekkah, karena tak memiliki tempat tinggal dan tidak
ada saudara, Abu Dzar memilih tidur di dekat Kabah yang lapang. Dia tidak tahu
jika tempat itu menjadi tempat peribadatan kaum muslim. Suatu malam, ketika
tengah tertidur, Ali bin Abi Thalib berjalan melewatinya. Menyadari orang yang
dilaluinya orang asing, Ali membangunkan dan mengajaknya menginap di rumahnya.
Abu Dzar menuruti derap langkah kaki Ali, tanpa menanyakan nama atau identitas
orang yang telah berbaik hati kepada dirinya.
Keesokan hari, Abu Dzar kembali ke lingkungan Kabah,
mencari tahu orang yang bernama Muhammad. Anehnya, dia tidak berkata atau
bertanya kepada siapapun. Alhasil, hingga sinar matahari menghilang dan
berganti cahaya rembulan, dia tidak bertemu Muhammad. Rupanya dia tidak putus
asa. Malamnya, dia kembali tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi Thalib yang
melihatnya kali kedua kembali mengajaknya menginap di rumahnya. Meski demikian,
keduanya tidak berbicara satu huruf pun.
Esok harinya, Abu Dzar kembali lagi ke pelataran Kabah.
Misi utama dan caranya sama seperti hari kemarin. Lagi-lagi usahanya kandas dan
dia tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi Thalib yang mengetahui ketiga kalinya,
saat itu tidak mengajaknya menginap di rumahnya. Ali menanyakan jatidiri dan tujuannya
datang ke Mekkah. Abu Dzar pintar, dia terlebih dahulu memberikan persyaratan
kepada Ali supaya Ali mau membantu agar harapannya terwujud. Ali menyepakati.
Abu Dzar menyatakan, dirinya ingin bertemu Muhammad, seorang nabi. Mendengar
hal tersebut, seketika wajah Ali berubah cerah. Akhirnya malam itu Abu Dzar
tidur di rumahnya. Perasaannya sungguh gembira, sampai tak dapat memejamkan
mata hingga mentari pagi menjemputnya.
Abu Dzar Bertemu Rasulullah SAW
Hari beranjak siang. Ali bin Abi Thalib menepati
janjinya. Dia mempertemukan Abu Dzar dengan Rasulullah. Betapa berbinarnya
wajah Abu Dzar. Senyumnya tak henti-henti mengembang. Tak lupa dia mengucapkan
terima kasih kepada Ali. Dia menceritakan keadaan diri dan kampungnya di
hadapan Rasulullah. Rasulullah lantas membacakan beberapa ayat Al-Quran.
Beberapa menit berikutnya, Abu Dzar mengucapkan dua kalimat syahadat dan telah
menjadi seorang muslim.
Sejarah Islam mencatat, Abu Dzar termasuk salah satu
sahabat yang pertama kali masuk Islam. Setelah itu, dia menetap bersama
Rasulullah di Mekkah. Dia belajar Islam dan Al-Quran dengan penuh semangat.
Rasulullah meminta Abu Dzar untuk tidak mengumumkan keyakinan barunya kepada
orang Quraisy. Hal ini dikhawatirkan dia akan mendapat ancaman, teror dan
siksaan dari mereka. Namun mengingat wataknya yang keras, Abu Dzar menegaskan:
”Demi Allah yang ditangan-Nya nyawaku berada, aku tidak akan meninggalkan
Mekkah sampai aku pergi menuju Kabah dan menyatakan kebenaran kepada bangsa
Quraisy.” Rasulullah diam saja.
Abu Dzar Mengislamkan Dua Suku
Pernyataan Abu Dzar di hadapan Rasulullah rupanya bukan
sekadar gertak sambal. Di tengah kerumunan warga Quraisy di dekat Kabah, dia
berani memproklamirkan dirinya telah bersyahadat. Mendengar hal itu, mereka
menjadi sangat marah. Seketika beramai-ramai memukuli Abu Dzar dan bermaksud
membunuhnya. Beruntung, paman Rasulullah bernama Abbas bin Abdul Muttalib
berhasil menyelematkannya. Menurut Abbas, daerah asal Abu Dzar adalah kawasan
yang sering dilewati rombongan dagang penduduk Quraisy. Daripada nanti
orang-orang di kampungnya membalas tindakan ini, tambah Abbas, sebaiknya Abu
Dzar dibebaskan.
Setelah mendengar laporan peristiwa tersebut,
Rasulullah menyarankan supaya Abu Dzar kembali ke tanah kelahirannya. Abu Dzar
diminta menyebarkan apa yang pernah diajarkan Rasulullah. Kali ini Abu Dzar
patuh. Ketika sudah sampai rumah, dia terkejut campur gembira, lantaran adiknya
sudah beralih ke agama Islam. Kakak beradik itu lantas mengajak Ibunya segera
bersyahadat. Perjuangannya dalam berdakwah tidak sia-sia. Dalam tempo cepat,
seluruh saudara dan warga Suku Ghifar yang hidup serba kekurangan serta Suku
Aslam –kampung tetangganya– sudah mengakui kenabian Muhammad dan Tuhannya bukan
lagi berhala, melainkan Allah SWT.
Abu Dzar kembali menemui Rasulullah. Dia meminta izin
untuk melayani dan selalui menemani Rasulullah. Permintaannya dikabulkan. Dia
senang bukan kepalang. Lelaki jujur dan setia itu pun ikut hijrah (pindah)
bersama Rasulullah ke Madinah. Beberapa waktu setelah Rasulullah wafat, dia
pindah ke Suriah, menetap di Damaskus, lalu kembali lagi ke Madinah. Dia sangat
prihatin dan memprotes melihat perilaku orang Islam yang senang
bermewah-mewahan. Menurut Abu Dzar, kehidupan mereka sudah melenceng dari
ajaran dan gaya hidup Rasulullah.
Sementara itu, Abu Dzar hidup mulia dalam kesederhanaan
dan lebih memikirkan kehidupan akhirat. Di rumahnya tidak ada barang berharga
apapun. Tetapi tidak sedikit orang yang menghormatinya. Satu waktu, dia pernah
dikasih uang banyak oleh seorang pejabat tinggi negara untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun, uang itu segera dikembalikan dan menyarankan kepada pejabat agar
memberikannya kepada orang yang lebih membutuhkan darinya. Abu Dzar Al Ghifari
meninggal dunia pada tahun 32 hijriyah, tanpa mewariskan harta satu dirham pun.
Dikutip dari komunitasamam.wordpress.com, 11/5/09