-->

Sejarah Peristiwa Ghadir Khum; Lengkap

sejarah peristiwa ghadir khum lengkap
Mungkin banyak dari kita tidak tahu, apa itu Ghadir Khum? Hal itu wajar, mengingat umat Islam di Indonesia berhaluan Sunni. Namun akan berbeda jika kita menengok ke negeri Syi’ah. Mereka merayakan peristiwa Ghadir Khum dengan meriahnya. Bahkan ada yang menganggap perayaan Ghadir Khum sebagai Hari Raya, melebihi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.


Awal Mula Perayaan Ghadir Khum


Disebutkan dalam sejarah, bahwa perayaan ini pertama kali dibuat oleh seorang raja bernama Abu al-Hasan Ahmad bin Buwaih al-Dailami, yang bergelar Mu’izzul al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah; sebuah dinasti yang berhaluan Syi’ah Itsna Asyriyah di Irak.

Imam Ibnu Katsir menceritakan dalam kitab beliau, al-Bidayah wa an-Nihayah:

وفي عشر ذي الحجة منها أمر معز الدولة بن بويه بإظهار الزينة في بغداد ، وأن تفتح الأسواق بالليل كما في الأعياد ، وأن تضرب الذبابات والبوقات، وأن تشعل النيران في أبواب الأمراء ، وعند الشرط ، فرحاً بعيد الغدير – غدير خم – فكان وقتاً عجيباً مشهوداً ، وبدعة شنيعة ظاهرة منكرة


“Pada tanggal 18 Zulhijjah, Muizzu Ad-Daulah bin Buwaih memerintahkan untuk memeriahkan dan menghiasi Baghdad, membuka pasar-pasar di malam hari seperti halnya hari raya, menabuh gendang dan rebana, meniup terompet, menyalakan unggun di depan pintu para pejabat pemerintahan dan aparat, sebagai bentuk ungkapan gembira atas perayaan Ghadir Khum, maka ini adalah peristiwa aneh yang disaksikan oleh sejarah dan bid’ah buruk yang sangat jelas serta perbuatan munkar.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah : 165)

Al-Maqrizi menjelaskan lebih lanjut dalam kitabnya, al-Khuthath wal al-Atsar, “Dia (Muizzu ad-Daulah) membuat-buat perayaan tersebut pada tahun 352 H. Sejak itu umat Syiah menjadikannya sebagai hari raya."


Apa itu Ghadir Khum?


Ghadir Khum adalah sebuah kebun yang terletak antara kota Makkah dan Madinah tepatnya di dekat Juhfah. Lihat peta di samping! Di tempat inilah terjadi peristiwa dimana Rasulullah saw. berkata di hadapan para sahabatnya, khususnya yang sejalur arah Madinah, selepas haji Wada’ (sebelum wafatnya Nabi kira-kira 3 bulan):

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ.


”Barangsiapa yang aku MAULA-nya, maka Ali adalah MAULA-nya.”

Bagi orang Syi’ah makna ‘Maula’ di atas berarti pemimpin. Akhirnya, peristiwa ini dianggap sebagai sebuah peristiwa penobatan Ali bin Abi Thalib menjadi seorang khalifah selepas Rasulullah saw..


Apa Arti MAULA?


Untuk mengetahui arti MAULA, tentu kita perlu melihatnya dalam kamus. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir, kata MAULA memiliki beberapa makna, yaitu: Rabb (Tuhan), pemilik, penolong, pemberi nikmat, sekutu, pembebas, hamba, anak paman dan ipar.

Jika menilik di dalam al-Qur’an, kama MAULA juga memiliki arti yang bermacam-macam, diantaranya dalam surah al-Maidah ayat 55, yang bermakna kekasih dan penolong.

إنما و ليكم الله و رسوله و الذين آمنوا



Sesungguhnya kekasih dan penolongmu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang beriman.... [Q.S. al Maidah: 55]

Bahkan kata MAULA dalam surah al-Hadid ayat 15 berarti tempat berlindung (Neraka).

فاليوم لا يؤخذ منكم فدية ولا من الذين كفروا مأواكم النار هي مولاكم و بئس المصير



“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali." [QS. Al-Hadid Ayat 15]

Setelah mengetahui arti MAULA secara bahasa, tentu kita perlu melihat artinya sesuai dengan konteks hadis tersebut saat disampaikan. Maka tiada jalan lain kecuali dengan mengetahui asbabul wurud dari hadis tersebut, yaitu dengan mengetahui kronologi peristiwa Ghadir Khum tersebut.


Kronologi Peristiwa Ghadir Khum


Sebenarnya, banyak sekali para ulama yang menjelaskan kronologi peristiwa Ghadir Khum di atas. Di antara ulama itu adalah seorang ahli tafsir dan ahli hadis, Ibnu Katsir dalam kitab beliau, al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 174:

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ فِيْ سِيَاقِ حَجَّةِ الْوَدَاعِ حَدَّثَنِيْ يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ عَمْرَةَ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ رُكَانَةَ، قَالَ لَمَّا أَقْبَلَ عَلِيٌّ مِنَ الْيَمَنِ لِيَلْقَى رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَكَّةَ، تَعَجَّلَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَ اسْتَخْلَفَ عَلَى جُنُدِهِ الَّذِيْنَ مَعَهُ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ فَعَمِدَ ذَلِكَ الرَّجُلُ فَكَسَى كُلُّ رَجُلٍ مِنَ الْقَوْمِ حُلَّةً مِنَ الْبِزِّ الَّذِيْ كَانَ مَعَ عَلِيٍّ، فَلَمَّا دَنَا جَيْشُهُ خَرَجَ لِيَلْقَاهُمْ فَإِذَا عَلَيْهِمْ الْحُلَلُ، قَالَ : وَيْلَكَ مَا هَذَا؟ قَالَ: كَسَوْتُ الْقَوْمَ لِيَتَجَمَّلُوْا بِهِ إِذَا قَدِمُوْا فِيْ النَّاسِ، قَالَ: وَيْلَكَ: انْزَعْ قَبْلَ أَنْ يَنْتَهِيَ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ: فَانْتَزَعَ الْحُلَلَ مِنَ النَّاسِ فَرَدَّهَا فِيْ الْبَزِّ قَالَ وَ أَظْهَرَ الْجَيْشُ شَكْوَاهُ لِمَا صُنِعَ بِهِمْ.


“Telah berkata Muhammad bin Ishaq di dalam peristiwa haji Wada, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Amrah dari Yazid bin Thalhah bin Yazid bin Rukanah dia berkata, tatkala Ali ra. bertolak pulang dari Yaman untuk menemui Rasulullah saw. di Mekkah. (Ternyata) Ali ra. berjalan cepat (tergesa-gesa/berangkat lebih dulu) untuk menemui Rasulullah saw., dan Ali ra. mempercayakan kepada seseorang untuk mengawasi tentara yang beliau pimpin. Maka sahabat tersebut jadi pemimpin (tentara). Oleh karenanya, seluruh pasukan tentara tersebut memakai pakaian yang tadi dibawa bersama Ali ra.. Maka tatkala pasukan tentara tersebut telah mendekat, Ali ra. pun pergi untuk menemui mereka, dan Ali ra. melihat mereka semua memakai pakaian yang dibawa dari Yaman. Ali ra. pun berkata, “Apa-apaan ini?” Sahabat tadi berkata, “Aku yang memakaikan pakaian ini kepada seluruh pasukan tentara agar nampak indah ketika mereka datang menemui orang-orang.” Ali ra. menjawab, “Celaka kamu! Lepaskan seluruh pakaian tersebut sebelum sampai di hadapan Rasulullah saw.!” Maka dia pun melepaskan kembali seluruh pakaian tersebut dan menyimpannya ke dalam kantong. Maka para tentara ini pun melaporkan sikap Ali ra. ini terhadap mereka,” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 174).

Akan tetapi, mendengar keluhan dari para tentara atas sikap Ali ra. ini, justru Rasulullah saw. bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ لَا تَشْكُوْا عَلِيًّا فَوَ اللهِ إِنَّهُ لَأَخْشَنَّ فِيْ ذَاتِ اللهِ أَوْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.


“Wahai manusia, janganlah kalian mengeluh mengenai sikap Ali, demi Allah, sesungguhnya Ali adalah orang yang paling takut atas Zat Allah atau di jalan Allah….” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 174).

Dikarenakan Rasulullah saw. melihat ada ketidakharmonisan di kalangan para sahabatnya, terutama dari kalangan para tentara yang baru pulang berjihad dari Yaman atas perilaku Ali ra. ini yang dianggap tidak adil dan bakhil, maka di tengah perjalanan, tepatnya di Ghadir Khum, Rasulullah saw. berkhutbah panjang lebar, 

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ بِمَكَانٍ بَيْنَ مَكَّةَ وَ الْمَدِيْنَةَ مَرْجِعُهُ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَرِيْبٌ مِنَ الْجُحْفَةِ يُقَالُ لَهُ غَدِيْرُ خُمٍّ فَبَيَّنَ فِيْهَا فَضْلَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ وَ بَرَاءَةَ عِرْضِهِ مِمَّا كَانَ تَكَلَّمَ فِيْهِ بَعْضُ مَنْ كَانَ مَعَهُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ بِسَبَبِ مَا كَانَ صَدَرَ مِنْهُ إِلَيْهِمْ مِنَ الْمَعْدَلَةِ الَّتِيْ ظَنَّهَا بَعْضُهُمْ جَوْرًا وَ تَضْيِيْقًا وَ بُخْلًا وَ الصَّوَابُ كَانَ مَعَهُ فِيْ ذَلِكَ.


“Nabi saw. berkhutbah di lembah antara Mekah dan Madinah, sepulang dari haji Wada’, dekat dengan daerah Juhfah, namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi saw. menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib ra. dan kebersihan nama Ali ra. dari komentar para sahabat yang bersamanya dari Yaman, dikarenakan kebijakan Ali ra. terhadap mereka, yang mereka anggap sebagai kezaliman dan sikap bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali ra..” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 173).

Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan di halaman yang sama,

وَ لِهَذَا لَمَّا تَفَرَّغَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ بَيَانِ الْمَنَاسِكِ وَ رَجَعَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ بَيَّنَ ذَلِكَ فِيْ أَثْنَاءِ الطَّرِيْقِ فَخَطَبَ خُطْبَةً عَظِيْمَةً فِيْ الْيَوْمِ الثَّامِنِ عَشَرَ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ عَامَئِذٍ وَ كَانَ يَوْمُ الْأَحَدِ بِغَدِيْرَ خُمٍّ تَحْتَ شَجَرَةٍ هُنَاكَ فَبَيَّنَ فِيْهَا أَشْيَاءَ وَ ذَكَرَ مِنْ فَضْلِ عَلِيٍّ وَ أَمَانَتَهُ وَ عَدْلَهُ وَ قُرْبَهُ إِلَيْهِ مَا أَزَاحَ بِهِ مَا كَانَ فِيْ نُفُوْسِ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ مِنْهُ.


“Karena itu, setelah beliau saw. selesai manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Zulhijjah di tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah sebuah pohon, beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau saw. menjelaskan beberapa hal, dan menyebutkan keutamaan Ali ra., bagaimana amanahnya, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau saw.. Yang ini akan menghilangkan ketidaknyamanan di hati banyak sahabat terhadap Ali ra..” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 173).

Kesimpulan


Setelah melihat keterangan-keterangan di atas, dari sejarah munculnya perayaan Ghadir Khum, makna MAULA secara bahasa, dan kronologi peristiwanya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Arti MAULA pada hadis ‘man kuntu maulaahu fa ‘aliyyun maulaahu’ adalah ”Barangsiapa yang aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Terlebih jika melihat kelanjutan hadis yang serupa dalam riwayat Tirmidzi, “Ya Allah cintailah siapa saja yang mencintainya (Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya (Ali).”
  2. Sikap Rasulullah saw. yang meluruskan dan mendamaikan para sahabatnya ketika sedang berselisih adalah sikap yang lumrah dan banyak sekali contoh lainnya. Demikian pula, pujian Rasulullah saw. kepada sahabat Ali ra., adalah hal yang lumrah, sebagaimana beliau memuji juga kepada sahabat-sahabatnya yang lain.
  3. Peristiwa Ghadir Khum bukanlah dalam rangka penobatan Ali ra. sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw., tetapi untuk membersihkan nama baik sahabat Ali bin Abi Thalib ra. yang sedang berselisih dengan sahabat lain di Yaman.
  4. Poin ketiga di atas akan lebih kuat lagi, ketika melihat sejarah, bahwa para sahabat Rasulullah saw. yang hadir ketika peristiwa tersebut tidak ada yang memaknai sebagai penobatan Ali ra., bahkan oleh sahabat Ali ra. sendiri. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib ra. pun berbaiat atas kepemimpinan Abu Bakar ra. sepeninggal Rasulullah saw.. Demikian pula saat Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, yang mana beliau (Ali ra.) menjadi penasehat dalam pemerintahan mereka semua.
  5. Sebagai umat Islam yang saleh, sudah sepantasnya untuk selalu menghormati dan memuliakan ahlul bait Rasulullah saw. dan para sahabatnya; yang melalui keduanya Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Begitu juga tidak pantas kita untuk membuat-buat Hari Raya-Hari Raya lainnya, terlebih melebihi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Wallahu a’lam
23 Oktober 2015
Oleh: Ibram Han

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel