Pengertian, Ketentuan, dan Hikmah Pernikahan
10/21/2015
1. Pengertian
Nikah
Kata nikah berasal dari nakaha-yankihu-nakhan
yang artinya: mengawini. Menurut pengertian bahasa nikah berarti menghimpun dan
mengumpulkan.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu
ikatan lahir dan batin antara dua orang laki-laki dan perempaun, untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga untuk mendapatkan keturunan yang dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam.
2. Hukum Pernikahan
Pada dasarnya pernikahan diperintahkan atau dianjurkan
oleh Allah. Firman Allah swt.:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَامٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَۖ فَإِنْ خَفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا
فَوَاحِدَةٌ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْۗۗ ۗ ذٰلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوْا
(النساء: 3)
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demi kian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. an-Nisa/4: 3)
Dalam hal ini, Rasulullah juga bersabda:
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمِدَ
اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: لَكِنِّىْ أَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ
وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِىْ
فَلَيْسَ مِنِّىْ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Dari Anas bin Malik ra.
bahwasanya Nabi saw. memuji Allah dan
menyanjungnya, beliau bersabda : “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku
berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka
sunahku, maka bukanlah dia dari golonganku.” (H.R. Bukhari Muslim)
Mayoritas ulama menetapkan bahwa hukum perkawinan
dibagi menjadi lima macam, yaitu:
a. Sunah
Nikah hukumnya sunah apabila seseorang telah mencapai
kedewasaan jasmaniah dan rohaniah. Tapi, jika tidak menikah tidak dikawatirkan
akan terjerumus dalam perbuatan zina.
b. Wajib
Nikah itu hukumnya wajib, bagi orang yang telah
mencapai kedewasaan jasmaniyah dan rohaniyah, dan sangat hajat dengan nikah,
serta dikhawatirkan akan jatuh terjerumus dalam perbuatan tercela/zina apabila
tidak menikah.
c. Makruh
Seorang laki-laki yang sudah dewasa baik jasmani maupun
rohani, tetapi belum mempunyai bekal untuk hidup bersama keluarga dan pihak
istri bisa menerima.
d. Haram
Nikah hukumnya haram, bagi lelaki yang menikahi
perempuan, tetapi ia tidak mampu memberi nafkah lahir maupun batin sehingga
menjadikan mudarat terhadap keluarga, atau bermaksud menyakiti istri.
e. Mubah
Nikah hukumnya mubah apabila keinginan nikah tidak begitu
kuat, sementara halangan untuk kawin pun tidak ada.
3. Syarat dan
Rukun Nikah
Perkawinan dapat terjadi jika memenuhi dua kreteria,
yaitu terpenuhinya syarat dan rukunnya. Rukun nikah adalah unsur pokok yang
harus dipenuhi untuk menjadi sahnya suatu pernikahan, suatu sistem kehidupan
sosial yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan umat manusia di jagad raya
ini. Perkawinan tidak syah, jika rukunnya tidak terpenuhi. Sedangkan syarat
merupakan sesuatu yang harus ada, akan tetapi syahnya perkawinan tidak
tergantung padanya.
Adapun rukun nikah ada lima macam, yaitu calon suami,
calon istri, wali, dua orang saksi dan ijab kabul. Sedangkan syarat-syarat
pernikahan sebagaimana pembahasan berikut ini:
a. Calon
suami
Nabi saw.:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ
دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى
الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ (رواه الترمذى)
Artinya:
“
Bila ada seorang dating melamar, dan kamu senang dengan agama dan akhlaknya,
maka kawinlah dengannya, jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka
bumi ini.” (H.R. Tirmidzi)
Syarat-syarat
calon suami menurut ketentuan Islam adalah beragama Islam, jelas bahwa ia
laki-laki, atas keinginan dan pilihan sendiri, tidak beristri empat, tidak
mempunyai hubungan mahram dengan calon istri,
tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya,
mengetahui bahwa calon istri tidak haram baginya dan tidak sedang berihram haji
atau umrah.
b. Calon
istri
Kriteria memilih calon istri yang baik sebagaimana
telah digariskan oleh Rasulullah saw. dalam hadis sebagai berikut:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَابِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّيْن تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Wanita
dinikahi karena empat hal karena hartanya, karena ( kemuliaan) keturunannya,
karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama
niscaya akan beruntung; ” (H.R. Bukhari-Muslim).
Syarat-syarat calon istri yang akan dinikahi adalah beragama Islam,
jelas bahwa ia seorang perempuan, telah mendapat izin dari walinya, tidak
bersuami dan tidak dalam masa iddah, tidak mempunyai hubungan mahram
dengan calon suami, belum pernah di-li’an (dituduh zina) oleh calon
suaminya, jika ia janda, harus atas
kemauan sendiri, bukan karena dipaksa oleh siapapun, jelas ada orangnya dan
tidak sedang ihram haji atau umrah.
c. Wali
Syaratnya dari pada wali adalah
laki-laki, beragama Islam, sudah baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil
dan tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.
d. Dua
Orang Saksi
Syaratnya adalah dua orang laki-laki,
beragama Islam, baligh, berakal, merdeka dan adil, bisa melihat dan mendengar,
memahami bahasa yang digunakan dalam akad, tidak sedang mengerjakan ihram haji
atau umrah dan hadir dalam ijab qabul.
e. Ijab
dan Qabul
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak
perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul
yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Adapaun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan
kata yang bermakna menikah.
2) Lafal
ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah
3) Antara
ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan
lain.
4) Pelaksanaan
ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu
persyaratan apapun.
5) Tidak
dibatasi dengan waktu tertentu.
4. Hikmah
Pernikahan bagi Pribadi dan Keluarga
a. Melestarikan
keturunan
Firman
Allah swt.:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِىْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجاَلاً كَثِيْرًا وَنِسَاءًۚ (النساء: 1)
Artinya:
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri dan darinya Ia menciptakan istrinya (Hawa) dan keduanya ia
mengembangkan jenis manusia laki-laki maupun perempuan.” (Q.S. an-Nisa/4:
1)
b. Menenteramkan
jiwa
Firman
Allah swt.:
وَمِنْ أٰيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةًۚ إِنَّ فِىْ ذٰلِكَ لَاٰيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ (الروم: 21)
Artinya:
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari
jenismu sendiri agar kamu hidup senang dan tenteram dengannya serta Ia
menjadikan jalinan cinta dan kasih sayang diantaramu. Sesunggunya dalam hal itu
pasti teradapat pelajaran bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. ar-Rum: 21)
c. Menghindari
perbuatan maksiat
Sabda
Rasulullah saw.:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ (متفق عليه)
Artinya:
“Wahai
para pemuda, siapa yang telah mempunyai kemampuan untuk kawin, hendaklah ia
kawin, karena lebih dapat memelihara mata dan nafsu seksual.” (Mutafaqun’alaih)
d. Dengan
memiliki anak berarti ada yang mendoakan
Bila
seseorang meninggal dunia putuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.
5. Hikmah
Pernikahan bagi Umat dan Masyarakat
a. Untuk
menyempurnakan agama
Sabda
Rasulullah saw.:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ
امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى الشَّطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ
فِى الشَّطْرِ الْبَاقِىْ (رواه الطبرانى)
Artinya:
“Barangsiapa dianugerahi istri yang
shaleh maka sunguh-sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka
hendaklah ia memelihara separoh yang tersisa.” (H.R. Thabrani)
b. Perkawinan memelihara ketinggian martabat
manusia.
c. Hasil yang
diperoleh dari pernikahan ini berupa hubungan yang erat antara keluarga
khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya.