Mengenal Wali dan Saksi dalam Pernikahan
10/21/2015
1. Wali
Nikah
Seluruh mazhab sepakat bahwa wali dalam pernikahan
adalah wali perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki
sesuai dengan pilihan perempuan itu. Kedudukan wali dalam pernikahan sangat
penting, sebagaimana sabda Rasul saw.
لاَ
تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا (رواه
ابن ماجة والدرقطنى)
Artinya:
“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula ia
menikahkan dirinya sendiri.” (H.R. Ibnu Majah dan Daruqutni)
Rasulullah saw. juga bersabda bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
Artinya:
“Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan wali yang dewasa”.
Adapun syarat-syarat menjadi wali dalam pernikahan
adalah merdeka (mempunyai kekuasaan), berakal, baligh dan Islam.
a. Macam
dan Tingkatan Wali
Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah
wali dari pihak kerabat, artinya wali yang mempunyai pertalian darah atau
keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkannya. Wali nasab ditinjau dari
dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dibagi menjadi dua, yaitu wali
aqrab (lebih dekat hubungannya dengan mempelai perempuan) dan wali ab’ad
(wali yang lebih jauh hubungannya dengan mempelai perempuan).
Di bawah ini susunan wali nasab sebagai berikut:
1) Ayah
2) Kakek dari
pihak bapak
3) Saudara
laki-laki kandung
4) Saudara
laki-laki sebapak
5) Anak laki-laki
saudara laki-laki kandung
6) Anak laki-laki
saudara laki-laki sebapak
7) Paman (saudara
bapak) sekandung
8) Paman (saudara
bapak) sebapak
9) Anak laki-laki
dan paman kandung
10) Anak laki-laki
dari paman laki-laki
11) Hakim
Sedangkan wali
hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah
dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula. Dengan kata lain wali hakim
ialah pejabat negara yang beragama Islam dan dalam hal ini biasanya kekuasaanya
di Indonesia dilakukan oleh Kepala Pengadilan Agama. Dalam sebuah hadis, “Dari
‘Aisyah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda, siapapun perempuan yang
menikah dengan tidak seizin walinya maka batallah pernikahannya, dan jika
ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan
itu berhak menerima mas kawin lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya, dan
jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka sultan (penguasa)-lah yang
menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (H.R. Imam empat kecuali
Nasa’i)
Adapun sebab-sebab pindahnya wewenang wali nasab kepada
wali hakim, adalah apabila
1) Tida ada wali
nasab
2) Tidak cukup
syarat wali bagi yang lebih dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada
3) Wali yang
lebih dekat gaib
4) Wali yang
lebih dekat sedang melakukan ihram/ibadah haji
5) Wali yang
lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6) Wali yang
lebih dekat mengundurkan diri, yaitu tidak mau menikahkan
7) Wali yang
lebih dekat tawari, yaitu sembunyi-sembunyi karena tidak mau menikahkan
8) Wali yang
lebih dekat ta’azzuz, yaitu bertahan, tidak mau menikahkan
9) Wali yang
lebih dekat mafqud, yaitu hilang tidak diketahui tempatnya dan tidak
diketahui pula hidup dan matinya.
b. Wali
Mujbir
Wali mujbir yaitu wali yang berhak menikahkan
anak perempuannya yang sudah baligh, berakal dari gadis untuk dinikahkan,
dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuan tersebut. Dalam
hal ini hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.
Kebolehan bapak dan kakek menikahkan anak perempauannya
tanpa minta izin terlebih dahulu padanya adalah dengan syarat-syarat:
1) Tidak ada
permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
2) Sekufu antara
perempuan dengan laki-laki calon suaminya.
3) Calon suami
itu mampu membayar mas kawin.
4) Calon suami
tidak cacat.
c. Wali
Adhal
Wali adhal ialah wali yang tidak mau menikahkan
anaknya, karena alasan-alasan tertentu yang menurut walinya itu tidak disetujui
adanya pernikahan anaknya atau cucunya dengan calon suami karena tidak sesuai
dengan kehendak walinya, padahal wanita yang hendak menikah itu berakal sehat
dan calon suami juga dalam keadaan sekufu. Apabila terjadi hal seperti tersebut
di atas, maka perwalian itu pindah langsung pada wali hakim, sebab adhal itu
zalim sedang yang dapat menghilangkan kezaliman adalah hakim.
Rasulullah saw. bersabda, “Kalau (wali-wali itu)
enggan (menikahkan) maka hakim menjadi wali perempuan yang tidak mempunyai
wali.” (H.R. Abu Daud, Tirnidzi dan Ibnu Hiban)
Apabila adhal-nya sampai tiga kali, maka
perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim. Kalau adhal-nya
itu karena sebab yang logis menurut
hukum Islam, maka tidak disebut adhal, seperti wanita nikah
dengan pria yang tidak sekufu, maharnya di bawah mahar umum dan wanita
itu dipinang oleh laki-laki yang lebih pantas dari pada pinangan pertama itu.
2. Saksi Nikah
Keberadaan saksi di dalam pernikahan adalah untuk
menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan orang lain terhadap pergaulan
mereka dan untuk menguatkan janji mereka berdua begitu pula terhadap
keturunannya.
Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-laki.
Selanjutnya ada dua pendapat tentang saksi laki-laki dan perempuan. Jika
pernikahan disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, maka
nikahnya tidak sah. Pendapat lain mengatakan sah saja. Berdasarkan firman Allah
swt.:
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ
رِجَالِكُمْۖ فَإِنْ لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ
تَرْضَوْنَ (البقرة: 282)
Artinya:
”Angkatlah dua orang saksi
laki-laki diantara kamu jika tidak ada angkatlah satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan yang kamu setujui ..” (Q.S. al-Baqarah/2: 282)
Sabda Rasulullah
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ (رواه أحمد)
Artinya:
“Sahnya
suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (H.R.
Ahamd)