Kronologi Syahidnya Imam Husein; Lengkap
10/22/2015
Dari Ummu Salamah bahwasanya Jibril datang kepada Nabi saw. “… Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan).
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu
sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia
mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat
ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat
menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui
perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya
sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia
mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak
dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat
Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus
menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin
Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim
bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui
Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin
mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya
ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh
tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi),
Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil)
bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya
kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar
bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang
yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi
di siang hari.
Ubaidullah bin Ziyad
merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan
dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein
ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil, sang
ponakan Nabi hingga tersisa 30 orang saja yang bersama beliau. Dan belumlah
matahari terbenam, hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun
ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi,
Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein. Keinginan terakhirnya
dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah,
pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah.
Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku.
Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan
masalah).” Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari
Arafah.
Husein berangkat
dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi
menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri,
Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.
Abu Said al-Khudri ra. mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar ra. mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi saw.. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian.”
Husein
tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu
mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan
keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin
Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang
menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau
pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami.”
Karena
menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap
berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan
itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan
membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah.
Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein
agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah
dariku.” Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu
adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya,
tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha.”
Saat Husein
menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang
dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein
mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah
Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun
(musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan
dalam jumlah yang sangat besar, Husein ra. menyadari
tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan,
(1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku
pergi menghadap Yazid di Syam.
“Engkau pergi
menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad
terlebih dahulu,” kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein
pergi menghadap Yazid. Ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya.
Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.
Terjadilah
peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan
dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru
bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak
imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein
seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih
tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi
al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai
Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya
syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi
al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang
yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu
a’lam.
Yang
perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan
bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah
kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang
turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang
bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan
meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di antara ahlul
bait yang terbunuh bersama
Husein adalah:
1.
Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu
Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
2.
Anak-anak Husein bin Ali: Ali
al-Akbar dan Abdullah.
3.
Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar,
Abdullah, Qosim.
4.
Anak-anak Aqil bin Abi Thalib:
Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
5.
Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far
bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.
Satu-satunya
anak laki-laki Husein yang tidak mati dan selamat dari peristiwa itu adalah Ali
Zainal Abidin. Karena beliau saat itu dalam keadaan sakit dan masih kecil, sehingga tertinggal di tenda bersama rombongan para wanita. Beliaulah yang paling mengetahui sebab terjadinya peristiwa
Karbala.
Dijelaskan
dalam al-bayyinat.net, bahwa seorang ahli sejarah Syi’ah yang dikenal dengan
sebutan Al-Ya’Quubi, menerangkan dalam kitabnya sebagai berikut: Ketika Imam
Ali Zainal Abidin memasuki kota kufah, beliau melihat orang-orang Syi’ah
(Syi’ah ayahnya) menangis, beliaupun berkata kepada mereka,
“Kalian membunuhnya tetapi kalian menangisinya. Kalianlah yang membunuhnya, lalu siapa yang membunuhnya kalau bukan kalian? Kalianlah yang membunuhnnya.”
(Lihat: Gerakan Tawwabin; Ketika Syi'ah Menyesali Pengkhianatan Mereka di Karbala)
Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala
Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala
Tidak diperbolehkan
bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap
dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang
semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan
kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR.
Bukhari).
Seorang muslim yang
baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang
Allah tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعونَ
“Orang-orang yang
apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengatakan sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah
diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far
ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul
bait maupun selain mereka
pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau
berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau
engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia
itu adalah kemuliaan.
Sikap Kita terhadap
Yazid bin Muawiyah
Dalam permasalahan
ini, Yazid bin Muawiyah memang tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Yazid
hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki
wilayah Irak. Namun Ibnu Katsir ra. punya pendapat tersendiri tentang Yazid,
“Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al-Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari. Demikian pula terbunuhnya sejumlah sahabat dan anak-anak mereka dalam peristiwa tersebut. Maka dalam menyikapi Yazid bin Muawiyah, kita serahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”
Wallahu
A’laa bis shawab
Diolah
dari beberapa artikel di buku hiqbah minat tarikh karya Utsman al-Khamis,
website almanhaj.net, kisahmuslim.com, al-bayyinat.net, dan lainnya