-->

Bolehkah Berkurban dengan Hewan Hamil?

Bolehkah Berkurban dengan Hewan Hamil?
Salah satu permasalahan dalam ibadah kurban adalah kedudukan hewan yang hamil atau bunting. Apakah hewan seperti kambing, sapi, onta yang hamil dapat digunakan untuk hewan kurban? Terlebih kadang kita jumpai saat panitia kurban menyembelih hewan dan mendapati di dalam perutnya ada janin.

Menyikapi permasalahan tersebut, berikut akan diuraikan tentang hukum berkurban dengan hewan hamil.

Hukum Berkurban dengan Hewan Hamil


Pada dasarnya tidak ada masalah berkurban dengan kambing hamil, sapi hamil, atau unta hamil. Dalil yang menunjukkan kebolehan berkurban dengan hewan hamil adalah ayat berikut ini,

{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ} [الحج: 34]

“Bagi tiap-tiap umat telah Aku syariatkan ‘mansak’, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap ‘bahimatul an’am’ (binatang ternak) yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (Al-Hajj; 34).

Dalam ayat di atas, Allah mensyariatkan “mansak” (tatacara ibadah). Di antara “mansak” adalah syariat berkurban. Adapun hewan yang digunakan berkurban, Allah menyebutnya dengan ‘bahimatul an’am’. Arti ‘bahimatul an’am’ sebagaimana penjelasan para fuqoha’ adalah unta, sapi, kambing dan domba.

Dengan demikian, semua hewan yang bisa disebut sebagai ‘bahimatul an’am’ sah digunakan untuk berkurban tanpa membedakan apakah jantan ataukah betina, dari Arab maupun dari luar Arab, hamil maupun tidak hamil. Hewan hamil sah dijadikan kurban karena termasuk keumuman dari lafaz ‘bahimatul an’am’ yang disebutkan dalam ayat ini.

Terlebih, Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menerangkan hewan-hewan yang dilarang dipakai untuk berkurban, yakni hewan-hewan yang beraib seperti buta sebelah, kurus sekali, pincang dan sakit. Di antara sekian aib itu, kehamilan tidak pernah dipakai Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagai alasan untuk melarang hewan sebagai hewan kurban. Oleh karena itu, hewan hamil kembali pada hukum asal yakni boleh digunakan untuk berkurban sebagaimana bolehnya berkurban dengan hewan yang tidak hamil. Bolehnya berkurban dengan hewan hamil adalah pendapat Ibnu Ar-Rif’ah, salah satu ulama Asy-Syafi’iyyah sebagaimana dinukil oleh Zakariyya Al-Anshori berikut ini,

وقال ابن الرِّفْعَةِ الْمَشْهُورُ أنها تُجْزِئُ لِأَنَّ ما حَصَلَ بها من نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِينِ فَهُوَ كَالْخَصِيِّ

“Ibnu Ar-Rif’ah berkata, ‘Pendapat terkuat adalah mengatakan sahnya (berkurban dengan hewan hamil) karena berkurangnya daging hewan hamil bisa ditambal dengan janinnya. Jadi, statusnya sama seperti hewan yang dikebiri” (Asna Al-Matholib, juz 1 hlm 536).

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hewan hamil tidak bisa dijadikan kurban dengan alasan bahwa dagingnya berkurang sehingga ini menjadi aib baginya, maka argumentasi ini tidak dapat diterima. Hal itu dikarenakan hewan yang dilarang Rasulullah صلى الله عليه وسلم dijadikan hewan kurban adalah jika kurusnya sampai level tidak bersumsum. Hewan hamil, meskipun dagingnya sedikit berkurang tetapi itu tidak sampai membuat dagingnya habis atau sumsumnya hilang. Oleh karena itu, ia masih tetap sah dijadikan hewan kurban karena tidak bisa dimasukkan dalam definisi ‘Ajfa’ yang disebutkan dalam hadis. Lagipula, sebagaimana kata Ibnu Ar-Rif’ah, berkurangnya daging hewan hamil masih bisa ditambal dengan daging janin itu sendiri, jadi statusnya seperti hewan yang tidak hamil. Lagipula, dalam ilmu peternakan, bukan sebuah kepastian jika hewan hamil dagingnya akan berkurang. Jika hewan dijaga agar tidak stres, kualitas makanan dan asupan nutrisi sangat dijaga, perawatan juga bagus, gen hewan juga bagus, maka dagingnya tidak akan berkurang.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hewan hamil tidak bisa dijadikan kurban dengan alasan bahwa kualitas dagingnya menjadi buruk, maka fakta yang ada dilapangan tidak menunjukkan demikian. Info yang kami dapat, praktisi peternak kambing menyebutkan bahwa secara umum kualitas daging hewan yang hamil tidak ada bedanya dengan yang tidak hamil. Lagipula, dalam ilmu peternakan, bukan sebuah kepastian jika hewan hamil kualitas dagingnya menurun. Jika hewan dijaga agar tidak stres, kualitas makanan dan asupan nutrisi sangat dijaga, perawatan juga bagus, gen hewan juga bagus, maka kualitas dagingnya tidak akan menurun.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hewan hamil tidak bisa dijadikan kurban dengan alasan bahwa kehamilan adalah aib sebagaimana budak hamil adalah aib jika dia dijual, maka alasan ini tidak dapat diterima. Hal itu dikarenakan budak wanita itu dibeli dengan maksud “istikhdam” (melayani) dan “istimta” (digunakan bersenang-senang) sehingga wajar jika kehamilan dipandang sebagai aib oleh pembeli budak. Adapun unta hamil, dagingnya tidak berubah dan justru ada tambahan daging dari janinnya. Jadi, kehamilan pada hewan justru kelebihan, bukan kekurangan atau aib.

Hewan hamil tidak sah dijadikan hewan kurban adalah pendapat sebagaian ulama Asy-Syafi’iyyah sebagaimana dinukil An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’”.

انما لا تجزئ الحامل في الاضحية لان المقصود من الاضحية اللحم والحمل يهزلها ويقل بسببه لحمها فلا تجزئ

“Hewan hamil itu tidak sah sebagai kurban karena target kurban adalah (distribusi) daging. Kehamilan membuat hewan menjadi kurus dan dagingnya menjadi sedikit sehingga tidak sah” (Al-Majmu’, juz 5 hlm 428)

Bagaimana Cara Penyembelihan Janin pada Hewan Kurban?


Jika hewan yang dikurbankan adalah hewan hamil, maka janin yang ada didalamnya tidak perlu disembelih secara khusus. Penyembelihan induknya sudah bermakna penyembelihan janinnya berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud berikut ini,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ ». سنن أبى داود – م (3/ 63)

“Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau bersabda, ‘Penyembelihan janin itu (sudah cukup dengan) penyembelihan induknya” (H.R.Abu Dawud).

Jadi, meskipun janinnya tidak disembelih, status dagingnya halal dan tidak dihukumi bangkai karena induknya telah disembelih secara syar’i.

Kehalalan janin yang induknya telah disembelih ini tidak dibedakan apakah janin tersebut sudah tumbuh rambut ataukah belum. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa janinnya disyaratkan harus tumbuh rambut agar halal dimakan, maka riwayat yang dijadikan hujjah adalah riwayat yang mana salah satu perawinya bertafarrud. Lagipula, riwayat tersebut adalah riwayat mauquf sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Selain itu, riwayat itu juga bertentangan dengan sejumlah riwayat lain dengan perawi shahabat yang sama yang tidak membedakan apakah janin sudah tumbuh rambut ataukah belum.

Jadi, sekali lagi, janin hewan kurban tidak perlu disembelih. Jika induknya disembelih, maka janinnya sudah “bermakna disembelih” meskipun riilnya tidak disembelih. Daging janin halal dimakan dan tidak dihukumi sebagai bangkai.

Dikecualikan satu kondisi dalam hal ini. Jika janin masih hidup ketika induknya sudah disembelih, maka janin tersebut juga wajib disembelih. Abu Syuja’ berkata,

ذكاة الجنين بذكاة أمه إلا أن يوجد حيا فيذكى

“Penyembelihan janin (sudah dianggap dilakukan) dengan peyembelihan induknya. Kecuali janin itu didapati masih hidup (saat induknya sudah disembelih), sehingga ia (juga harus) disembelih” (Al-Ghoyah wa At=Taqrib, hlm. 42).

Referensi:
http://irtaqi.net/2018/08/13/bolehkah-berkurban-dengan-hewan-hamil/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel