Faktor Penyebab Runtuhnya Dinasti Umayyah
4/26/2017
Dinasti Umayyah telah berhasil mencapai kemajuan di berbagai bidang, tetapi tidak berarti bahwa politik dalam negeri dianggap stabil. Muawiyah bin Abi Sufyan dinilai tidak menaati isi perjanjian dengan Hasan bin Ali ketika naik takhta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian khalifah setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
[Baca: Masa Kejayaan Dinasti Umayyah]
Deklarasi pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota menyebabkan gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat sehingga timbul perang saudara yang berkelanjutan. Inilah salah satu pemicu kehancuran Dinasti Umayyah. Meskipun demikian, runtuhnya Dinasti Umayyah tidak hanya disebabkan itu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah adalah sebagai berikut.
Pengangkatan lebih dari satu putra mahkota merupakan masalah yang cukup menggoyahkan kondisi Dinasti Umayyah. Hal ini terjadi pada sebagian besar khalifah Dinasti Umayyah. Biasanya putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk menduduki takhta. Setelah itu, dilanjutkan dengan putra kedua dan ketiga atau salah seorang kerabat khalifah, seperti paman atau saudaranya.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pengangkatan putra mahkota yang lebih dahulu ditetapkan sebagai pengganti adalah putranya sendiri dengan menggeser atau menghapus kedudukan putra mahkota yang telah ditetapkan khalifah sebelumnya. Hal ini menimbulkan kebencian dan dendam dari putra mahkota yang digeser kedudukannya terhadap khalifah yang menggesernya. Kebencian dan dendam ini pada perkembangan berikutnya akan menimbulkan perselisihan. Apalagi jika melibatkan para penjabat negara dan tentara.
Khalifah yang mula-mula melakukannya ialah Marwan bin Hakam (Marwan I), yang mengangkat kedua putranya, Abdul Malik dan Abdul Aziz, sebagai putra mahkota. Padahal, dalam musyawarah di al-Jabiyah telah disepakati bahwa yang akan menggantikan kedudukan khalifah adalah Khalid bin Yazid, kemudian Amr bin Said bin As. Abdul Malik mengikuti ayahnya dengan mencopot Abdul Aziz sebagai calon penggantinya dan mengangkat anaknya, al-Walid I, dan Sulaiman sebagai putra mahkota. Namun, takdir terjadi pada Abdul Aziz yang lebih dahulu wafat daripada Abdul Abdul Malik sehingga tidak terjadi konflik.
Pada masa al-Walid berkuasa, ia mencopot saudaranya, Sulaiman, dari kedudukannya sebagai calon penggantinya dan mengangkat putranya, Abdul Aziz, sebagai putra mahkota. Usaha ini mendapat dukungan dari beberapa panglima. Ketika Sulaiman menjadi khalifah, orang yang sebelumnya menyetujui pencopotannya sebagai putra mahkota mendapat tekanan atas balas dendamnya. Konflik internal di kalangan penguasa ini menjadi ancaman serius bagi keruntuhan Dinasti Umayyah.
Timbulnya fanatisme kesukuan dimulai sejak mundurnya Muawiyah II sebagai khalifah. Di kalangan Bani Umayyah dan para pengikutnya terjadi perpecahan yang nyaris melenyapkan kekuasaan mereka. Ketika itu, asabiyah (fanatisme) kesukuan antara bangsa Arab Utara (kabilah Qais) dan bangsa Arab Selatan (kabilah Qalb) muncul kembali di Suriah yang sebelumnya telah dipadamkan. Kelompok Arab Utara mendukung Abdullah bin Zubair yang memberontak terhadap Yazid I dan mendapat pengakuan luas setelah kematiannya. Kelompok Arab Selatan yang mendukung Bani Umayyah terpecah menjadi dua kubu. Pertama, menghendaki Khalid bin Yazid bin Muawiyah yang masih belia menjadi khalifah. Kedua, menghendaki Marwan bin al-Hakam, sepupu Muawiyah II, sebagai khalifah. Pada akhirnya, mereka sepakat dalam pertemuan yang berlangsung pada tanggal 3 Zulkaidah 64 Hijriah di al-Jabiyah membaiat Marwan bin al-Hakam sebagai khalifah.
Konferensi al-Jabiyah ini dapat memberikan jalan keluar di antara Bani Umayyah. Namun, penerapan resolusi Konferensi al-Jabiyah bukanlah perkara mudah karena masih menyisakan tantangan besar. Ad-Dahak bin Qais (kepala suku Qais yang mendukung Abdullah bin Zubair) bergabung dengan Nu’man bin Basyir al-Ansari (Walikota Homs) dan Zurf bin al-Haris al-Kilabi (Walikota Qinnasrin).
Kedua kubu ini bertemu di Marj Rahit dan terjadi pertempuran di sana. Hasilnya, kemenangan bagi Marwan bin al-Hakam atas suku Qais pengikut Abdullah bin Zubair. Ad-Dahak bin Qais terbunuh di Syam. Kemenangan pasukan Marwan bin al-Hakam ini memperkukuh pemerintahan mereka di Syam sehingga membentangkan hegemoninya atas wilayah tersebut.
Akhirnya, kabilah Qalb berhasil mengalahkan kabilah Qais yang mengantarkan Marwan bin Hakam (Marwan I) ke kursi kekhalifahan. Namun, perjuangan kabilah Qais untuk meraih kursi kekhalifahan tidak berhenti begitu saja. Pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik (al-Walid I) pengaruh kabilah Qais mencapai puncak pada diri Hajjaj bin Yusuf, Muhammad bin Qasim, penakluk India, dan Qutaibah bin Muslim, penakluk Asia Tengah. Saudara al-Walid I (Sulaiman) mendapat dukungan dari suku Qalb. Sedangkan, Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) berada pada pengaruh Qais karena ibunya yang bernama Atikah berasal dari kabilah Qais, seperti juga al-Walid bin Yazid (al-Walid II). Pada masa Yazid bin al-Walid (Yazid III), ia sangat ketergantungan dengan kabilah Qais dalam upaya meraih kekuasaan dari tangan pendahulunya, al-Walid II.
Dapat dipahami bahwa sikap fanatisme kesukuan sangat berpengaruh di kalangan penguasa Dinasti Umayyah. Para khalifah pada kedua masa pemerintahan Dinasti Umayyah tersebut lebih tampak sebagai kepala kabilah tertentu daripada penguasa berdaulat atas dinasti yang bersatu.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah memiliki fanatisme yang cukup kuat. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap muslim Arab dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah kalangan Mawali (orang muslim non-Arab atau warga kelas dua). Orang Arab merasa dirinya sebagai bangsa terbaik dan bahasa Arab sebagai bahasa tertinggi. Fanatisme ini menimbulkan kebencian penduduk nonmuslim kepada Bani Umayyah.
Akibat dari fanatisme adalah terjadi pemberontakan yang dilakukan kaum Mawali terhadap Dinasti Umayyah. Apalagi hal itu dibarengi dengan gerakan anti-Dinasti Umayyah yang dilancarkan oleh Bani Abbas. Kemudian, Bani Abbas mendapatkan dukungan dan bantuan dari Mawali, khususnya Persia yang merasa terhina oleh perlakuan para pejabat Dinasti Umayyah.
Kelemahan yang ada pada diri khalifah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Umayyah. Di antara 14 khalifah Dinasti Umayyah hanya beberapa khalifah yang cakap, kuat, dan pandai mengendalikan negara, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik, al-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hisyam bin Abdul Malik.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, putra Abdul Malik, Yazid bin Abdul Malik, sebenarnya mempunyai naluri yang baik dan tegas, tetapi ia termasuk orang yang kurang beruntung karena bergaul dengan orang-orang yang berperangai buruk, suka minum minuman keras, dan wanita. Ia dianggap sebagai khalifah pertama Bani Umayyah yang gemar minum minuman keras dan berfoya-foya dengan wanita. Ada dua wanita yang dijadikan gundiknya, yaitu Salamah dan Hababah. Ketika Hababah sakit dan meninggal dunia, Yazid bin Abdul Malik sangat sedih dan frustrasi sehingga ia kehilangan kendali.
Munculnya gerakan oposisi pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah menyebabkan sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Yazid bin Muawiyah pun mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk Madinah agar menyatakan baiat kepadanya. Dengan cara ini, semua penduduk terpaksa tunduk, sedangkan Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair belum melakukan baiat kepadanya.
Selain Syiah, ada gerakan lain yang akan meruntuhkan Dinasti Umayyah, yakni gerakan kelompok Khawarij dan Mawali.
a. Gerakan Kaum Syiah
Kata syiah memiliki banyak makna, antara lain keluarga, pengikut, pendukung, penolong, dan orang yang memiliki kesamaan dalam pandangan hidup. Istilah syiah ini sering digunakan untuk menyebut kelompok yang mendukung Ali bin Abi Talib dan keluarganya.
Kelompok Syiah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan tidak pernah melakukan pemberontakan. Akan tetapi, mulai pada tahun 60 H/680 M masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, Husein bin Ali mengadakan perlawanan kepada penguasa Dinasti Umayyah. Saat itu, Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan kaum Syiah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah. Mereka mengakui bahwa Husein bin Ali adalah khalifah yang sah. Akhirnya, terjadilah perang saudara di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah. Dalam pertempuran itu tentara Husein kalah dan ia mati terbunuh. Ia pun dimakamkan disana.
[Baca: Kronologi Syahidnya Imam Husein di Karbala]
Perlawanan dari orang-orang Syiah tidak padam dengan wafatnya Husein. Gerakan mereka makin lebih luas dan keras lagi, seperti yang dilakukan Mukhtar bin Abu Ubaid as-Saqafi di Kufah. Setelah pemberontakan Mukhtar as-Saqafi berhasil ditumpas pada tahun 67 H/687 M, perlawanan dari kaum Syiah dipimpin Zaid bin Ali muncul kembali pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik.
b. Gerakan Kaum Khawarij
Nama Khawarij dikenal dalam sejarah Islam setelah peristiwa tahkim (arbitrase antara kubu Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan) dalam Perang Siffin. Sebelum peristiwa tahkim, kelompok ini merupakan pendukung Ali bin Abi Talib yang militan. Mereka ikut dalam Perang Siffin dan Perang Jamal, tetapi mereka keluar dari kelompok Ali setelah tahkim dan menolak arbitrase.
Orang pertama yang memberontak kepada Muawiyah bin Abi Sufyan adalah Abdullah bin Abul Hausa di an-Nakhilah (sebuah tempat yang berdekatan dengan Kufah dari arah Syam). Pemberontakan muncul lagi yang dipimpin oleh al-Mustairid bin Juwain at-Ta’i saat Kufah dipimpin al-Mugirah bin Syu’bah. Selanjutnya, kelompok Khawarij ini terpecah menjadi dua, yaitu Najdah bin Amir al-Hanafi di Yaman dan Nafi’ bin al-Azraq di Basrah. Kelompok yang dipimpin Najdah bin Amir al-Hanafi menamakan dirinya anNajdat dan kelompok yang dipimpin Nafi’ bin al-Azraq menamakan dirinya al-Azariqah.
Kelompok an-Najdat mendirikan sebuah negara Yamamah dan Bahrain, yang kekuasaannya meluas sampai ke Yaman dan Taif. An-Najdat melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah hingga akhirnya mereka ditumpas Abdul Malik bin Marwan pada tahun 73 H/693 M. Ketika al-Azariqah ke Basrah pasca kematian Yazid bin Muawiyah, keamanan di sana kacau. Pemimpin al-Azariqah, Nafi’ bin al-Azraq meninggal dunia, kemudian digantikan adiknya, Abdullah bin al-Mahuz. Pada masa Dinasti Umayyah, di era Abdul Malik bin Marwan, al-Muhallab menumpas pemberontakan yang dilakukan al-Azariqah yang beroperasi di negeri Irak, Persia, Kerman, dan Ahwaz selama tiga tahun.
Muncul pemberontakan baru yang dipimpin Syabib bin Yazid, yakni sebelum al-Muhallab selesai menumpas al-Azariqah, Hajjaj bin Yusuf asSaqafi juga menghadapi Khawarij as-Safariyah dari Mosul di Irak Utara. Pada tahun 77 H/697 M Hajjaj berhasil mengakhiri pemberontakan Syabib bin Yazid.
Secara mengejutkan, pergerakan baru muncul kembali di bawah kepemimpinan Syauzab yang bernama asli Bustam al-Yasykuri. Anehnya, gerakan itu muncul pada masa Umar bin Abdul Aziz. Namun, Umar bin Abdul Aziz tidak melakukan penumpasan dengan jalan perang, tetapi melalui dialog untuk mencari titik temu dan berhasil. Namun, satu permasalahan yang belum menemui titik temu, yakni masalah posisi putra mahkota yang diberikan kepada Yazid bin Abdul Malik (Yazid II), tetapi Umar bin Abdul Aziz wafat terlebih dahulu.
Pada saat Yazid II dibaiat pada tahun 101 H/717 M untuk menghadapi pemberontakan Khawarij, ia memerintahkan Abdul Hamid bin Abdurrahman sebagai gubernur jenderal Kufah. Abdul Hamid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Jarir al-Bajali. Pasukan Syauzab berhasil mengalahkan pasukan Muhammad bin Jarir. Namun, pemberontakan Syauzab dan anak buahnya berhasil ditumpas oleh Maslamah bin Abdul Malik. Pada masa Dinasti Umayyah juga muncul gerakan-gerakan kecil Khawarij, seperti di era Hisyam bin Abdul Malik, yakni gerakan Buhlul bin Bisyr dan as-Sahara bin Syabib pada tahun 119 H. Di era Marwan bin Muhammad (Marwan II) muncul dua gerakan Khawarij, yaitu pemberontakan ad-Dahak bin Qais asySyaibani dan pemberontakan Abu Hamzah.
c. Gerakan Mawali
Gerakan Mukhtar as-Saqafi mendapat banyak pengikut dari kalangan Mawali yang berasal dari Persia dan Armenia. Sementara itu, Abdullah bin Zubair membina gerakan oposisinya di Mekah setelah ia menolak menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Ibnu Zubair mendeklarasikan diri sebagai khalifah setelah Husein bin Ali meninggal dunia.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (Umar II) hubungan pemerintah dengan kelompok oposisi makin membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Umar II menyatakan diri untuk memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada di wilayah kekuasaan Islam daripada perluasan wilayah. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, Umar II berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syiah dan Khawarij. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Penarikan jizyah dan kharraj diperingan serta kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Gerakan oposisi itu ternyata melancarkan pemberontakan. Pada masa Yazid bin Abdul Malik gerakan oposisi itu tidak bisa dikendalikan. Hal itu berlangsung hingga pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Sebenarnya, Hisyam adalah khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, dikarenakan gerakan oposisi terlalu kuat, Hisyam tidak berdaya mematahkannya. Adapun motif ambisi pribadi dan kekuasaan, seperti yang dilakukan al-Mukhtar bin Abu Ubaid as-Saqafi, Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’as, dan Yazid bin al-Muhallab, mereka menyembunyikan tujuan itu dengan cara menunggangi kelompok Syiah.
Mawali adalah para mantan budak atau kaum muslimin non-Arab yang asal muasalnya dari para budak hasil tawanan perang, khusus orang-orang Persia. Mereka tidak menunjukkan sebagai kelompok yang memiliki identitas tersendiri, tetapi mereka bergabung dengan kelompok-kelompok anti-Dinasti Umayyah untuk menjatuhkannya.
Dikutip dari Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, karangan Ngatmin Abdul Wahid dan Suratno, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
[Baca: Masa Kejayaan Dinasti Umayyah]
Deklarasi pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota menyebabkan gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat sehingga timbul perang saudara yang berkelanjutan. Inilah salah satu pemicu kehancuran Dinasti Umayyah. Meskipun demikian, runtuhnya Dinasti Umayyah tidak hanya disebabkan itu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor Penyebab Runtuhnya Dinasti Umayyah
1. Pengangkatan Putra Mahkota Lebih dari Satu Orang
Pengangkatan lebih dari satu putra mahkota merupakan masalah yang cukup menggoyahkan kondisi Dinasti Umayyah. Hal ini terjadi pada sebagian besar khalifah Dinasti Umayyah. Biasanya putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk menduduki takhta. Setelah itu, dilanjutkan dengan putra kedua dan ketiga atau salah seorang kerabat khalifah, seperti paman atau saudaranya.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pengangkatan putra mahkota yang lebih dahulu ditetapkan sebagai pengganti adalah putranya sendiri dengan menggeser atau menghapus kedudukan putra mahkota yang telah ditetapkan khalifah sebelumnya. Hal ini menimbulkan kebencian dan dendam dari putra mahkota yang digeser kedudukannya terhadap khalifah yang menggesernya. Kebencian dan dendam ini pada perkembangan berikutnya akan menimbulkan perselisihan. Apalagi jika melibatkan para penjabat negara dan tentara.
Khalifah yang mula-mula melakukannya ialah Marwan bin Hakam (Marwan I), yang mengangkat kedua putranya, Abdul Malik dan Abdul Aziz, sebagai putra mahkota. Padahal, dalam musyawarah di al-Jabiyah telah disepakati bahwa yang akan menggantikan kedudukan khalifah adalah Khalid bin Yazid, kemudian Amr bin Said bin As. Abdul Malik mengikuti ayahnya dengan mencopot Abdul Aziz sebagai calon penggantinya dan mengangkat anaknya, al-Walid I, dan Sulaiman sebagai putra mahkota. Namun, takdir terjadi pada Abdul Aziz yang lebih dahulu wafat daripada Abdul Abdul Malik sehingga tidak terjadi konflik.
Pada masa al-Walid berkuasa, ia mencopot saudaranya, Sulaiman, dari kedudukannya sebagai calon penggantinya dan mengangkat putranya, Abdul Aziz, sebagai putra mahkota. Usaha ini mendapat dukungan dari beberapa panglima. Ketika Sulaiman menjadi khalifah, orang yang sebelumnya menyetujui pencopotannya sebagai putra mahkota mendapat tekanan atas balas dendamnya. Konflik internal di kalangan penguasa ini menjadi ancaman serius bagi keruntuhan Dinasti Umayyah.
2. Fanatisme Kesukuan
Timbulnya fanatisme kesukuan dimulai sejak mundurnya Muawiyah II sebagai khalifah. Di kalangan Bani Umayyah dan para pengikutnya terjadi perpecahan yang nyaris melenyapkan kekuasaan mereka. Ketika itu, asabiyah (fanatisme) kesukuan antara bangsa Arab Utara (kabilah Qais) dan bangsa Arab Selatan (kabilah Qalb) muncul kembali di Suriah yang sebelumnya telah dipadamkan. Kelompok Arab Utara mendukung Abdullah bin Zubair yang memberontak terhadap Yazid I dan mendapat pengakuan luas setelah kematiannya. Kelompok Arab Selatan yang mendukung Bani Umayyah terpecah menjadi dua kubu. Pertama, menghendaki Khalid bin Yazid bin Muawiyah yang masih belia menjadi khalifah. Kedua, menghendaki Marwan bin al-Hakam, sepupu Muawiyah II, sebagai khalifah. Pada akhirnya, mereka sepakat dalam pertemuan yang berlangsung pada tanggal 3 Zulkaidah 64 Hijriah di al-Jabiyah membaiat Marwan bin al-Hakam sebagai khalifah.
Konferensi al-Jabiyah ini dapat memberikan jalan keluar di antara Bani Umayyah. Namun, penerapan resolusi Konferensi al-Jabiyah bukanlah perkara mudah karena masih menyisakan tantangan besar. Ad-Dahak bin Qais (kepala suku Qais yang mendukung Abdullah bin Zubair) bergabung dengan Nu’man bin Basyir al-Ansari (Walikota Homs) dan Zurf bin al-Haris al-Kilabi (Walikota Qinnasrin).
Kedua kubu ini bertemu di Marj Rahit dan terjadi pertempuran di sana. Hasilnya, kemenangan bagi Marwan bin al-Hakam atas suku Qais pengikut Abdullah bin Zubair. Ad-Dahak bin Qais terbunuh di Syam. Kemenangan pasukan Marwan bin al-Hakam ini memperkukuh pemerintahan mereka di Syam sehingga membentangkan hegemoninya atas wilayah tersebut.
Akhirnya, kabilah Qalb berhasil mengalahkan kabilah Qais yang mengantarkan Marwan bin Hakam (Marwan I) ke kursi kekhalifahan. Namun, perjuangan kabilah Qais untuk meraih kursi kekhalifahan tidak berhenti begitu saja. Pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik (al-Walid I) pengaruh kabilah Qais mencapai puncak pada diri Hajjaj bin Yusuf, Muhammad bin Qasim, penakluk India, dan Qutaibah bin Muslim, penakluk Asia Tengah. Saudara al-Walid I (Sulaiman) mendapat dukungan dari suku Qalb. Sedangkan, Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) berada pada pengaruh Qais karena ibunya yang bernama Atikah berasal dari kabilah Qais, seperti juga al-Walid bin Yazid (al-Walid II). Pada masa Yazid bin al-Walid (Yazid III), ia sangat ketergantungan dengan kabilah Qais dalam upaya meraih kekuasaan dari tangan pendahulunya, al-Walid II.
Dapat dipahami bahwa sikap fanatisme kesukuan sangat berpengaruh di kalangan penguasa Dinasti Umayyah. Para khalifah pada kedua masa pemerintahan Dinasti Umayyah tersebut lebih tampak sebagai kepala kabilah tertentu daripada penguasa berdaulat atas dinasti yang bersatu.
3. Fanatisme Muslim Arab dan Mawali
Kekhalifahan Dinasti Umayyah memiliki fanatisme yang cukup kuat. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap muslim Arab dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah kalangan Mawali (orang muslim non-Arab atau warga kelas dua). Orang Arab merasa dirinya sebagai bangsa terbaik dan bahasa Arab sebagai bahasa tertinggi. Fanatisme ini menimbulkan kebencian penduduk nonmuslim kepada Bani Umayyah.
Akibat dari fanatisme adalah terjadi pemberontakan yang dilakukan kaum Mawali terhadap Dinasti Umayyah. Apalagi hal itu dibarengi dengan gerakan anti-Dinasti Umayyah yang dilancarkan oleh Bani Abbas. Kemudian, Bani Abbas mendapatkan dukungan dan bantuan dari Mawali, khususnya Persia yang merasa terhina oleh perlakuan para pejabat Dinasti Umayyah.
4. Kelemahan Khalifah Dinasti Umayyah
Kelemahan yang ada pada diri khalifah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Umayyah. Di antara 14 khalifah Dinasti Umayyah hanya beberapa khalifah yang cakap, kuat, dan pandai mengendalikan negara, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik, al-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hisyam bin Abdul Malik.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, putra Abdul Malik, Yazid bin Abdul Malik, sebenarnya mempunyai naluri yang baik dan tegas, tetapi ia termasuk orang yang kurang beruntung karena bergaul dengan orang-orang yang berperangai buruk, suka minum minuman keras, dan wanita. Ia dianggap sebagai khalifah pertama Bani Umayyah yang gemar minum minuman keras dan berfoya-foya dengan wanita. Ada dua wanita yang dijadikan gundiknya, yaitu Salamah dan Hababah. Ketika Hababah sakit dan meninggal dunia, Yazid bin Abdul Malik sangat sedih dan frustrasi sehingga ia kehilangan kendali.
5. Gerakan Oposisi terhadap Dinasti Umayyah
Munculnya gerakan oposisi pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah menyebabkan sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Yazid bin Muawiyah pun mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk Madinah agar menyatakan baiat kepadanya. Dengan cara ini, semua penduduk terpaksa tunduk, sedangkan Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair belum melakukan baiat kepadanya.
Selain Syiah, ada gerakan lain yang akan meruntuhkan Dinasti Umayyah, yakni gerakan kelompok Khawarij dan Mawali.
a. Gerakan Kaum Syiah
Kata syiah memiliki banyak makna, antara lain keluarga, pengikut, pendukung, penolong, dan orang yang memiliki kesamaan dalam pandangan hidup. Istilah syiah ini sering digunakan untuk menyebut kelompok yang mendukung Ali bin Abi Talib dan keluarganya.
Kelompok Syiah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan tidak pernah melakukan pemberontakan. Akan tetapi, mulai pada tahun 60 H/680 M masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, Husein bin Ali mengadakan perlawanan kepada penguasa Dinasti Umayyah. Saat itu, Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan kaum Syiah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah. Mereka mengakui bahwa Husein bin Ali adalah khalifah yang sah. Akhirnya, terjadilah perang saudara di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah. Dalam pertempuran itu tentara Husein kalah dan ia mati terbunuh. Ia pun dimakamkan disana.
[Baca: Kronologi Syahidnya Imam Husein di Karbala]
Perlawanan dari orang-orang Syiah tidak padam dengan wafatnya Husein. Gerakan mereka makin lebih luas dan keras lagi, seperti yang dilakukan Mukhtar bin Abu Ubaid as-Saqafi di Kufah. Setelah pemberontakan Mukhtar as-Saqafi berhasil ditumpas pada tahun 67 H/687 M, perlawanan dari kaum Syiah dipimpin Zaid bin Ali muncul kembali pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik.
b. Gerakan Kaum Khawarij
Nama Khawarij dikenal dalam sejarah Islam setelah peristiwa tahkim (arbitrase antara kubu Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan) dalam Perang Siffin. Sebelum peristiwa tahkim, kelompok ini merupakan pendukung Ali bin Abi Talib yang militan. Mereka ikut dalam Perang Siffin dan Perang Jamal, tetapi mereka keluar dari kelompok Ali setelah tahkim dan menolak arbitrase.
Orang pertama yang memberontak kepada Muawiyah bin Abi Sufyan adalah Abdullah bin Abul Hausa di an-Nakhilah (sebuah tempat yang berdekatan dengan Kufah dari arah Syam). Pemberontakan muncul lagi yang dipimpin oleh al-Mustairid bin Juwain at-Ta’i saat Kufah dipimpin al-Mugirah bin Syu’bah. Selanjutnya, kelompok Khawarij ini terpecah menjadi dua, yaitu Najdah bin Amir al-Hanafi di Yaman dan Nafi’ bin al-Azraq di Basrah. Kelompok yang dipimpin Najdah bin Amir al-Hanafi menamakan dirinya anNajdat dan kelompok yang dipimpin Nafi’ bin al-Azraq menamakan dirinya al-Azariqah.
Kelompok an-Najdat mendirikan sebuah negara Yamamah dan Bahrain, yang kekuasaannya meluas sampai ke Yaman dan Taif. An-Najdat melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah hingga akhirnya mereka ditumpas Abdul Malik bin Marwan pada tahun 73 H/693 M. Ketika al-Azariqah ke Basrah pasca kematian Yazid bin Muawiyah, keamanan di sana kacau. Pemimpin al-Azariqah, Nafi’ bin al-Azraq meninggal dunia, kemudian digantikan adiknya, Abdullah bin al-Mahuz. Pada masa Dinasti Umayyah, di era Abdul Malik bin Marwan, al-Muhallab menumpas pemberontakan yang dilakukan al-Azariqah yang beroperasi di negeri Irak, Persia, Kerman, dan Ahwaz selama tiga tahun.
Muncul pemberontakan baru yang dipimpin Syabib bin Yazid, yakni sebelum al-Muhallab selesai menumpas al-Azariqah, Hajjaj bin Yusuf asSaqafi juga menghadapi Khawarij as-Safariyah dari Mosul di Irak Utara. Pada tahun 77 H/697 M Hajjaj berhasil mengakhiri pemberontakan Syabib bin Yazid.
Secara mengejutkan, pergerakan baru muncul kembali di bawah kepemimpinan Syauzab yang bernama asli Bustam al-Yasykuri. Anehnya, gerakan itu muncul pada masa Umar bin Abdul Aziz. Namun, Umar bin Abdul Aziz tidak melakukan penumpasan dengan jalan perang, tetapi melalui dialog untuk mencari titik temu dan berhasil. Namun, satu permasalahan yang belum menemui titik temu, yakni masalah posisi putra mahkota yang diberikan kepada Yazid bin Abdul Malik (Yazid II), tetapi Umar bin Abdul Aziz wafat terlebih dahulu.
Pada saat Yazid II dibaiat pada tahun 101 H/717 M untuk menghadapi pemberontakan Khawarij, ia memerintahkan Abdul Hamid bin Abdurrahman sebagai gubernur jenderal Kufah. Abdul Hamid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Jarir al-Bajali. Pasukan Syauzab berhasil mengalahkan pasukan Muhammad bin Jarir. Namun, pemberontakan Syauzab dan anak buahnya berhasil ditumpas oleh Maslamah bin Abdul Malik. Pada masa Dinasti Umayyah juga muncul gerakan-gerakan kecil Khawarij, seperti di era Hisyam bin Abdul Malik, yakni gerakan Buhlul bin Bisyr dan as-Sahara bin Syabib pada tahun 119 H. Di era Marwan bin Muhammad (Marwan II) muncul dua gerakan Khawarij, yaitu pemberontakan ad-Dahak bin Qais asySyaibani dan pemberontakan Abu Hamzah.
c. Gerakan Mawali
Gerakan Mukhtar as-Saqafi mendapat banyak pengikut dari kalangan Mawali yang berasal dari Persia dan Armenia. Sementara itu, Abdullah bin Zubair membina gerakan oposisinya di Mekah setelah ia menolak menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Ibnu Zubair mendeklarasikan diri sebagai khalifah setelah Husein bin Ali meninggal dunia.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (Umar II) hubungan pemerintah dengan kelompok oposisi makin membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Umar II menyatakan diri untuk memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada di wilayah kekuasaan Islam daripada perluasan wilayah. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, Umar II berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syiah dan Khawarij. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Penarikan jizyah dan kharraj diperingan serta kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Gerakan oposisi itu ternyata melancarkan pemberontakan. Pada masa Yazid bin Abdul Malik gerakan oposisi itu tidak bisa dikendalikan. Hal itu berlangsung hingga pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Sebenarnya, Hisyam adalah khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, dikarenakan gerakan oposisi terlalu kuat, Hisyam tidak berdaya mematahkannya. Adapun motif ambisi pribadi dan kekuasaan, seperti yang dilakukan al-Mukhtar bin Abu Ubaid as-Saqafi, Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’as, dan Yazid bin al-Muhallab, mereka menyembunyikan tujuan itu dengan cara menunggangi kelompok Syiah.
Mawali adalah para mantan budak atau kaum muslimin non-Arab yang asal muasalnya dari para budak hasil tawanan perang, khusus orang-orang Persia. Mereka tidak menunjukkan sebagai kelompok yang memiliki identitas tersendiri, tetapi mereka bergabung dengan kelompok-kelompok anti-Dinasti Umayyah untuk menjatuhkannya.
Dikutip dari Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, karangan Ngatmin Abdul Wahid dan Suratno, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri