Biografi dan Perjuangan Sunan Kalijaga
10/21/2016
A. Biografi Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 M dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti dan Raden Abdurrahman. Nama-nama tersebut memiliki kaitan erat dengan sejarah perjalanan hidup tokoh Walisongo ini dari sejak bernama Said. Lokajaya, hingga Sunan Kalijaga.
Kakek Sunan Kalijaga yang bernama Aria Teja, nama aslinya adalah Abdurrahman, orang keturunan Arab. Karena berhasil mengislamkan Adipati Tuban yang bernama Aria Dikara, Abdurrahman mengawini putri Aria Dikara. Ketika menggantikan kedudukan mertuanya sebagai Bupati Tuban, Abdurrahman menggunakan nama Aria Teja. Dari perkawinan dengan putri Aria Dikara ini, Aria Teja memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Sebelum menikah dengan putri Aria Dikara, Aria Teja telah menikah dengan putri Raja Surabaya yang bernama Aria Lembu Sura. Dari pernikahan itu, Aria Teja memiliki seorang putri yang dikenal dengan nama Nyai Manila yang kelak diperitri Sunan Ampel.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam.
Raden Said pun akhirnya membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang tanpa sepengetahuan ayahnya.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Raden Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Raden Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Raden Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang pelit dan tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.
Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang hak tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok.
Raden Said pun akhirnya berguru kepada Sunan Bonang hingga dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
B. Dakwah Sunan Kalijaga
Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.
Dalam dakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan gurunya yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung 'sufistik berbasis salaf'-bukan sufi panteistik. Beliau juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai saranan untuk berdakwah.
Beliau sangat toleran pada budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Oleh karenanya, mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Beliau menggunakan seni ujir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon tanpa makna. Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
Selain itu, beliau juga memiliki lagu suluk ciptaan yang populer, diantaranya adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Beliau juga penggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonesep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; diantaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebument, Banyumas, serta Pajang.
Sunan Kalijaga meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima oleh masyarakat.
Di antara walisongo, Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling luas cakupan bidang dakwahnya dan paling besar pengaruhnya di kalangan masyarakat. Sebab, selain berdakwah dengan cara bekeliling dari satu tempat ke tempat lain sebagai dalang, penggubah tembang, penari topeng, perancang pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasehat sultan, dan pelindung rohani kepala-kepala daerah.
Dalam usia lanjut, beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang, beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.
C. Keteladanan Sunan Kalijaga
Bercermin dari perjuangan yang telah dilalui oleh Sunan Kalijaga dalam kehidupannya, maka kita dapat mengambil nilai positif sebagai berikut:
- Memikirkan nasib kaum fakir miskin dan berusaha menyantuninya.
- Mau menerima nasehat dari siapapun walaupun belum dikenalnya, asalkan berisi kebaikan.
- Dami mendapatkan ilmu yang diinginkan, beliau bersedia menerima syarat dari guru, walaupun berat syarat tersebut.
- Memahami kesenangan umat dan selanjutnya mengemas kesenangan tersebut, misalnya wayang dengan disusupi oleh nilai-nilai keislaman.
Demikian biografi dan perjuangan Sunan Kalijaga. Semoga bermanfaat dan menginspirasi kita untuk bisa meneladaninya.