Mengenal Syariat Jihad
5/03/2016
1. Pengertian Jihad
Jihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd yang
berarti kelelahan dan kesusahan. Atau, dari Al Juhd yang berarti
kemampuan. Kalimat ‘balaga juhdahu’ bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Sehingga orang yang berjihad di jalan Allah adalah orang yang mencapai
kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai
cara dan jalan menuju surga.
Di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada
jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan
syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar
ma’ruf nahi mungkar.
Ibnu Rusyd menjelaskan Jihad dengan pedang adalah memerangi
kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk
Zat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata jihad fi sabilillah
bila disebut begitu saja maka tidak dipahami selain untuk makna memerangi orang
kafir dengan pedang. Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah, beliau mendefinisikan
jihad dengan mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang
dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah.
Pengertian-pengertian di atas tidak ada yang salah dan
kontradiksi, mengingat para ulama kadang mengartikan jihad secara umum dan juga
mengartikan jihad secara khusus.
Pengertian jihad secara umum adalah mengerahkan seluruh
kemampuan untuk mendapatkan yang dicintai Allah swt. dan menolak yang dibenci
Allah. Namun pengertian jihad secara khusus adalah berperang di jalan Allah
untuk meninggikan kalimatNya dengan ketentuan yang benar.
2. Tujuan Disyariatkannya Jihad
Tujuan jihad (perang di jalan Allah) yang menjadi pokok ialah
untuk membela, memelihara, dan menjunjung tinggi agama Allah. Islam mengizinkan
berperang dengan menentukan sebab-sebab dan maksud yang dituju dari peperangan
itu, yaitu untuk menolak kezaliman, menghormati tempat-tempat ibadah, menjamin
kemerdekaan bertanah air, menghilangkan fitnah, dan menjamin kebebasan setiap
orang memeluk dan menjalankan agama.
Dalam hadis dijelaskan bahwa yang dimaksud berperang (berjihad)
bukanlah karena menginginkan harta rampasan, menampakkan keberanian, kemegahan,
marah, dan denadam, melainkan ialah supaya agama Allah menjadi tinggi, terpelihara
dari segala gangguan.
Allah swt. berfirman:
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا -
وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ
لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا - الَّذِينَ آمَنُوا
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ
كَانَ ضَعِيفًا (النساء: 74-76)
Artinya:
“Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan
dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang
berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak
akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau berperang
di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan Kami,
keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah
Kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah Kami penolong dari sisi Engkau!.”
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir
berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena
sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (Q.S. an-Nisa’: 74-76)
Dalam surah al-Hajj ayat 39-41 dan surah al-Baqarah ayat 192
disebutkan bahwa tujuan peperangan adalah untuk menangkis serangan,
menghentikan kezaliman dan penganiayaan. Oleh karena itu, jika penyerang sudah
menghentikan serangan dan kezalimannya, tidak membuat fitnah dan kekacauan
lagi, maka habislah kewajiban memerangi mereka. Saat itu, peperangan tidak
boleh diteruskan lagi kecuali terhadap mereka yang menganiaya atau yang zalim
yang masih melakukan penganiayaan dan kezaliman dan masih suka menghasut-hasut,
memfitnah, mengacau, dan memaksa-maksa orang meninggalkan agama atau merintangi
orang beramal.
Setiap muslim diperintahkan supaya senantiasa siap sedia untuk
menghadapi segala kemungkinan. Allah swt. berfirman:
وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَااسْتَطَعْتُمْ
مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ
وَعَدُوَّكُمْ (الأنفال: 60)
Artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuhmu.” (Q.S.
al-Anfal: 60)
3. Kemuliaan atas Orang-Orang Yang Berjihad
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di saat peperangan
yang diizinkan itu telah meletus, maka tiap-tiap orang Islam wajib mengangkat senjata untuk menunaikan kewajiban suci guna
mendapatkan keridaan Allah.
Maka apabila tentara Islam telah masuk ke medan perang, haram
atas mereka mundur dan lari dari gelanggang perang, kecuali untuk siasat.
Mereka dituntut menjalankan kewajiban suci dengan semangat yang menyala-nyala,
gagah berani, kuat, tabah, dan sabar. Allah SWT. Berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
إِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ الْأَدْبَارَ.
وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إَلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ
مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ (الأنفال: 15-16)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir yang sedang menyerang, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu,
kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan
pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan
dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam, dan amat buruklah tempat
kembalinya.” (Q.S. al-Anfal: 15-16)
Mengenai keutamaan jihad fi sabilillah, Rasulullah saw. pernah
bersabda dari sahabat Abu Hurairah ra.
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ :
« لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ
الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ
الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ
حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى » .
Artinya:
Dikatakan kepada Nabi saw, “Amalan apa yang setara dengan jihad
fi sabiilillah? Nabi saw. berkata: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang
setara dengan jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali
atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan
yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi saw. bersabda pada kali yang ketiga:
“Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang
berpuasa, salat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak
berhenti dari puasa dan salatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah
Ta’ala itu kembali.” (H.R. Muslim)
4. Hukum Berperang di Jalan Allah (Berjihad)
Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa hukum berperang di
jalan Allah adalah fardu ‘ain atas tiap-tiap orang Islam, tetapi pendapat yang
lebih hak atas hukum berjihad ialah fardu kifayah. Artinya, kewajiban ini atas
sejumlah umat Islam.
Namun sebagian ulama berpendapat bahwa berjihad ada kalanya
fardu kifayah dan ada pula fardu ‘ain sesuai dengan kondisi yang
melatarbelakanginya.
Hukum jihad menjadi fardu kifayah bila dalam keadaan berikut:
- Untuk menjaga batas-batas negeri Islam sewaktu damai sebelum terjadi peperangan. Jumlahnya disesuaikan menurut keperluan dan keadaan tiap-tiap masa dan tempat.
- Apabila seorang pemimpin telah mengumumkan perang terhadap musuh, ketika itu fardu kifayah atas orang-orang yang mencukupi syarat-syaratnya. Jumlahnya juga disesuaikan dengan keperluan waktu dikumandangkan jihad.
Demikian juga, jihad akan menjadi fardu ‘ain atas tiap-tiap
muslim apabila musuh telah masuk ke dalam negeri Islam. Ketika itu berperang
menjadi fardu ‘ain atas tiap-tiap penduduk negeri yang telah dimasuki musuh itu
dan penduduk negeri-negeri yang berada di sekitar negeri tersebut yang jauhnya
kurang dari perjalanan qasar (kira-kira 80,6 km). Adapun selebihnya, hukumnya
fardu kifayah; jumlahnya menurut kepentingan dan ukuran mencukupi kebutuhan
untuk pembelaan negeri yang telah dimasuki oleh musuh tersebut.
5. Syarat Wajib Berperang
Hukum asal jihad adalah fardu kifayah. Sewaktu hukum masih
tetap fardu kifayah, maka untuk orang yang telah menjadi prajurit diperlukan
beberapa syarat sebagai berikut:
- Islam
- Balig (dewasa)
- Berakal
- Merdeka
- Laki-laki
- Berbadan sehat dan kuat
- Mempunyai bekal yang cukup
- Ada izin dari orang tua
6. Etika dalam Berjihad
Dalam kondisi perang, yang ada hanyalah membunuh atau terbunuh.
Walau dalam keadaan tersebut, seorang mujahid harus tetap menjaga etika-etika
dalam berperang. Mereka tidak diperboehkan melakukan sesuatu yang menyalahi
syariat walau kepada musuhnya sekalipun. Diantara etika-etika dalam berperang
di jalan Allah adalah sebagai berikut:
1. Perempuan dan anak-anak tidak boleh diganggu (dibunuh)
kecuali apabila terpaksa atau karena menjadi mata-mata.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَرَّ فِىْ غَزَوَاتِهِ
فَوَجَدَ امْرَأَةً مَقْتُوْلَةً فَ
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah memeriksa
pada salah satu peperangannya. Beliau mendapati seorang perempuan terbunuh.
Maka beliau tidak membenarkan membunuh perempuan dan anak-anak.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
2. Orang tua yang tidak kuat lagi berperang tidak boleh
diganggu atau disakiti, kecuali apabila dia ahli politik, pandai tentang
seluk-beluk peperangan, atau orang yang berpengaruh. Orang tua seperti itu
tidak berhalangan dibunuh karena ia berbahaya.
3. Utusan musuh yang resmi datang kepada kita tidak boleh
diganggu, karena suatu ketika pernah utusan musuh datang kepada Rasulullah saw.
dan beliau tidak mengganggunya.
4. Tidak diperbolehkan merusak negeri dengan membakar dan
sebagainya, kecuali jika keadaan memaksa, tidak ada jalan lain.
5. Musuh yang belum sampai kepadanya seruan Islam tidak boleh
diperangi, tetapi hendaklah diajak dan diberi penerangan lebih dahulu. Kalau
dia tidak mau dan telah cukup syarat-syarat untuk memeranginya, barulah boleh
diperangi.
6. Orang yang masuk Islam sebelum dia ditawan, baik ditawan
dari dalam peperangan ataupun dari tempat lain. Dengan demikian, terpeliharalah
dirinya, harta, dan anaknya yang belum balig; bahkan anak-anaknya itu dianggap
muslim, mengikuti salah seorang dari ibu bapaknya.
7. Para rahib atau pemimpin agama tidak boleh diganggu dan
tidak boleh dibunuh, kecuali jika mereka ikut melakukan perlawanan.
Rasulullah saw. berpesan kepada pasukan perang saat
pemberangkatan ke Mu’tah.
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ،
قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا، وَلاَ تَغْدِرُوا،
وَلاَ تُـمَثِّلوا، وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا، أَوِ امْرَأَةً، وَلا كَبِيرًا
فَانِيًا، وَلا مُنْعَزِلاً بِصَوْمَعَةٍ
"Berperanglah dengan menyebut nama
Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur kepada Allah.
Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari
dari medan perang, jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak,
perempuan, orang tua yang sepuh, dan rahib di tempat ibadahnya.” (HR. Muslim
1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan al-Baihaqi 17935).
7. Salah satu etika saat berperang adalah tidak lari dari
medan perang.
Rasulullah Saw. berwasiat kepada para sahabatnya agar
tidak gentar dan pengecut di medan perang. Beliau Saw berlepas diri dari mereka
yang lari dari peperangan, walaupun mereka pasukan Islam.
8. Pasukan Islam dilarang melakukan pengkhianatan atas
perjanjian yang sudah disepakati dengan musuhnya.
9. Rasulullah Saw melarang memutilasi mayat walaupun musuh
dalam peperangan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, ia berkata,
نَهَى النَّبِيُّ عَنِ النُّهْبَى، وَالمُثْلَةِ
Artinya:
“Nabi melarang perampasan dan memutilasi (musuh).” (HR.
al-Bukhari dan al-Baihaqi)