Maksud dan Rumusan Islam Nusantara: Keputusan Bahtsul Masail PWNU
2/15/2016
Keputusan Bahtsul Masail
Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara di Universitas Negeri
Malang, 13 Februari 2016.
ISLAM NUSANTARA
MUKADDIMAH
Pakar sejarah Ibn Khaldun
(1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:
أَنَّ
أَحْوَالَ الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ
وَتِيرَةٍ وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ
الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا
يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ
يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ
الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan
mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan
selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari
satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia,
waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga
terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada
hamba-hambaNya.”
Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat
tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal
itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di
negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil
dalam beberapa hal, antara lain:
1. Dalam implementasi amalan Islam di
Nusantara ada tradisi halalbihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari
raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca sholawat diiringi terbangan,
sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari,
tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang
meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik
oleh keluarga wanita maupun keluarga laki-laki, dan tradisi lainnya.
2. Dalam hal berpakaian ada yang memakai
sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih
banyak model pakian adat lain, terutama telihat dalam pakaian pernikahan dimana
pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.
3. Dalam hal toleransi pengamalan ajaran
Islam, ada yang shalat Id di lapangan, masjid, musalla, bahkan ada hari raya
dua kali. Ada yang shalat Tarawih 20 rakaat, ada pula yang 8 rakaat. Diantara
pelaksanaan Tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’
ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara
akikah ada yang diisi dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan
selainnya.
4. Dalam hal toleransi dengan budaya yang
mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih
sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan
Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan
janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.
5. Dalam toleransi dengan agama lain ada
hari libur nasional karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu, dan ada hari libur lainnya.
Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di
Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik
yang pro maupun yang kontra sejak sebelum Muktamar digelar sampai sekarang.
Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang
Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan
persepsi tentang Islam Nusantara.
PEMBAHASAN
1. Maksud Islam Nusantara
Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Saw., sedangkan kata
“Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama bagi
seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang
membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan
wilayah negara Indonesia. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan
Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai
sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang
dipakai di Indonesia.
Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun
demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal
Jama'ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh
para pendakwahnya, yang diantara tujuannya untuk mengantisipasi dan membentengi
umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan paham-paham lain
yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jama'ah, sebagaimana tersirat dalam
penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam
Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah (h. 9):
فَصْلٌ
فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ
وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي
أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ المُبْتَدِعِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ
كَانَ مُسْلِمُوْا الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ السَّالِفَةِ
الخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ
وَالمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ
الإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ
الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِي، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ
الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b)
metode (manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi
etnis, multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai,
seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban dalam
Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-‘Asyrah, (h. 23-24) saat
menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmat (Sunan Ampel):
ثم
قال السيد رحمة أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا
وصاحبي أبو هريرة. فنحن أول مسلم في جريرة جاوه … فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس
إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله
وأكثر أهل سوربايا. وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس
وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)،
وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى
مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن
يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله
أفواجا.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga memaparkan
dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk
riyadhah (tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu
maupun sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu
putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan tidak
dapat disembuhkan para tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan diberi
hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan
keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan
banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).
2. Metode Dakwah Islam Nusantara
Sampai kini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan
tentang masuknya Islam di Nusantara. Diantara yang menjelaskannya adalah ulama
Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke
Nusantara (Jawa secara lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah,
bersamaan dengan kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri
Campa (Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk bibinya, Martanigrum,
yang menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya’
Syahab, dalam ta’liqatnya atas kitab Syams adz-Dzahirah, Sayyid Ali Rahmat
datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa
Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.
Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah,
setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa
kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo
sebagaimana tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya al-‘Asyrah yang antara
lain dengan:
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang
kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang
dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus
yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran,
sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah
masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya
yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan pamannya, Maulana Ishaq, dalam mendidik
anak-anak dan murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah
yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik
simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh,
sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang
di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden
Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai
pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f.
Politik:
politik li i’lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.
(Referensi: Ahla al-Musamarah, h. 14-48 dan Syams adz-Dzahirah,
I/525).
Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama
dengan metode dakwah di masa Walisongo, meskipun dalam strateginya perlu
dilakukan dinamisasi sesuai tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada aturan
syar’i. Secara terperinci metode tersebut dapat dilakukan dengan:
a. Berdakwah dengan hikmah, mau’idzah
hasanah, dan berdialog dengan penuh kesantunan.
b. Toleran terhadap budaya lokal tidak
bertentangan dengan agama.
c. Memberi teladan dengan al-akhlak
al-karimah.
d. Memprioritaskan mashlahah ‘ammah daripada
mashlahah khasshah.
e. Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f.
Berprinsip
dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.
Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah yang
punya pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu ditolak.
Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya akan
berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi
rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi).
Allah Swt. berfirman:
يُوصِيكُمُ
اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ
نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11)
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ
فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71).
اَلْحَقُّ
مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60)
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang menganggap
mashlahah tanpa dasar dalil syar’i maka batal. Beliau juga mengatakan,
mashlahah yang dilegalkan syara’ adalah menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.
Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang diutarakan Imam
Malik, maka fuqaha Syafi’iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri
telah melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa
maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik memang melegalkan
mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang dimaksud Imam
Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah, bukan
dalam setiap mashlahah.
Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir menjadikan sejumlah
orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka berhasil menerobos maka
berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah negeri kaum Muslimin, sedangkan
bila diserang jelas-jelas akan menjamin keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih
banyak, namun pasti mengorbankan sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai
perisai tersebut. Dalam kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan
kemaslahatannya sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah
al-kulliyyah al-qath’iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara’
apakah dii’tibar atau diilgha’kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan
penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak dalam semua mashlahah.
Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah
dengan:
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil
syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat
ta’abbudi (dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan ‘illat.
(Referensi: Al-Bahr al-Madid, IV/95, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48,
al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175, al-Mustashfa, VI/48, al-Ihkam, IV/160,
at-Taqrir wa at-Tahbir, III/149, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48, dan Tafsir
al-Bahr al-Muhith, VI/48).
3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya Islam
akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu
berbagai ayat al-Quran dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir
tradisi/budaya; dan beberapa tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam.
Selain itu, dakwah Islam di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai
tradisi/budaya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan
dijelaskan.
a. Redaksi Ayat Al-Quran dan Hadits yang
Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
Pertama, ayat tentang
riba:
يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران :13)
Jika dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang dalam ayat
ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi tidak ada
satupun pendapat Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit. Sebab kata
أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً merupakan
pengakomodasian budaya kafir jahiliyyah dimana saat itu mereka berlomba-lomba
dan bangga dengan riba yang berlipat ganda.
Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23)
Secara literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi anak tiri
yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi
tidak ada satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang
ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak.
Sebab penyebutan kata فِي
حُجُورِكُمْ merupakan
pengakomodasian budaya jahiliyyah dimana jika ada percerian maka anak perempuan
mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri,
daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri, karena biasanya
yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.
Ketiga, ayat tentang
perempuan dan laki-laki jalang:
اَلْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم
مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26)
Dalam ayat ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa wanita
jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria shalih
dan sebaliknya. Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria
shalih dan sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir
budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan
sebaliknya. Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya,
sehingga secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.
Keempat, anjuran untuk
menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada
hadits yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi Saw., namun dalam hadits
lain beliau membiarkan Hassan Ra. berdiri menghormatinya sesuai tradisi
masyarakat Arab. Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk
berdiri menghormati Mu’adz bin Jabal Ra.:
عَنْ
سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ
حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ
قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا
مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا
إِلَى سَيِّدِكُمْ – أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم)
(Referensi: Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455 dan I’anah
ath-Thalibin, III/305).
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah
Menjadi Ajaran Islam
Pertama, tradisi puasa
Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan
dalam Islam:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ –
رضى الله عنهما – قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ
اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ
تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى
بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)
Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah
diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala
bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi:
عَن
عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد
لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله
بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو
دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح)
Ketiga, ritual-ritual
haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam
ditetapkan sebagai salah satu ritual haji, namun dengan mengganti kebiasaan
telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.
Keempat, kebolehan untuk
menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majusi di hari raya mereka selain
daging sembelihannya.
(Referensi: Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9, as-Sirah
an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305, dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249).
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan
dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach),
yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.
Pertama pendekatan
adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak
bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan
implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw.
Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya
yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa
kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun terhadap
orang yang lebih tua.
عن
معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ
الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)
Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk
menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang
diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi
terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan
melestarikan selainnya. Allah berfirman:
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan,
bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan
saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas
dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya
namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan dzikir kepada Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan tradisi/budaya
secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang belum lurus
saja.
Ketiga pendekatan
minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang
belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan
dengan cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan
menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai hilang
atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat
melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.
Keempat pendekatan
amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus
dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap,
seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan
cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam menyikapi keyakinan paganisme di
masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan,
pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru
terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fath Makkah)
pada 630 M/8 H, atau saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
عن
عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول
البيت ستون وثلاثمائة نصب فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن
الباطل كان زهوقا. جاء الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري)
(Referensi: Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61,
Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39, Ihya ‘Ulum
ad-Din, III/62, dan I’lam al-Muwaqqi’in, III/12).
d. Melestarikan Tradisi/Budaya yang Menjadi
Media Dakwah
Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan
dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk
mayit pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak
bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi
orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan
kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru
kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut
semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah
(dikembalikan pada prinsip mashlahah).
Referensi: Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara, Nihayah az-Zain,
281, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, al-Adam as-Syar’iyyah, II/114, dan Ihya ‘Ulum
ad-Din, III/62).
4. Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas
Agama dan Pemahaman Keagamaan
a. Sikap terhadap Pluralitas Agama
Pertama, meyakini bahwa
pluralitas agama (perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini kebenaran semua
agama) di dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam
amr ma’ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah
Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran dari
muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar prinsip-prinsipnya.
...
وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)
Kedua, memperkuat keyakinan atas kebenaran
ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama lain dan menghindari memaki-maki
penganutnya. Allah Swt. berfirman:
وَلاَ
تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى
رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108)
Ketiga, menolak dakwah
yang bertentangan dengan Islam dengan cara terbaik dan bijaksana, serta
menunjukkan kebaikan ajaran Islam. Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ. وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 33-34)
Keempat, amr ma’ruf nahi
munkar dengan arif dan bijaksana. Allah Swt. berfirman:
ادْعُ
إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل: 125)
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلَا تَعْقِلُونَ (البقرة: 44)
(Referensi: Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145,
XX/112-114).
b. Toleransi terhadap Agama Lain
Toleransi terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat merupakan
keniscayaan, demi terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah
pluralitas. Bahkan Islam mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua
manusia tanpa memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap
orang shalih maupun sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul
(III/97) mengatakan:
وقال
صلى الله عليه وسلم: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو
مع الكفار تدخل مداخل الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن
أسكنه في حظيرة قدسي وأن أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن
يحسن خلقه مع أمره ونهيه، الثانية أن يحسن خلقه مع جميع خلقه، الثالثة أن يحسن
خلقه مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما يشاء له ربه.
Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi semesta
alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu’amalah dzahirah yang baik
antarumat beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak
mengganggu pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif
di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Namun demikian, penerapan toleransi kaum Muslimin terhadap agama lain
perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
1) Tidak melampaui batas akidah sehingga
terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut meramaikan hari
raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan kekufuran, dan semisalnya,
kecuali dalam kondisi darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga
terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain
saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri
perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan
semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
(Referensi: Faidh al-Qadir, III/71, Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11,
Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain, 199,
Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, Asna al-Mathalib,
III/167, al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman
al-Kurdi, 208-209, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239, al-Adab
as-Syar’iyyah, IV/122, Bughyah al-Mustarsyidin, I/528, dan al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8).
c. Toleransi terhadap Pemahaman Keagamaan
Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah
Selain pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam pemahaman
keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan toleransi
terhadap kelompok umat Islam yang dalam masalah furu’iyyah maupun ushuliyyah
berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Secara prinsip toleransi
dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang
merahmati semesta alam dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi
antarumat beragama. Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi
terhadap kelompok umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah sama
dengan batas-batas dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh
melampaui batas akidah dan syariat.
Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk
menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat (propaganda)
yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif, mengancam kesatuan
Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.
عن
معاوية بن حيدة قال : خطبهم رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون
عن ذكر الفاجر هتكوه حتى يحذره الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط
والصغير حسن رجاله موثقون واختلف في بعضهم اختلافا لا يضر)
Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah
wal Jama’ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1) Dalam melakukan amr ma’ruf nahi munkar
kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar, terlebih
di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam Sunni. Dalam
kondisi seperti ini amr ma’ruf nahi munkar wajib dikoordinasikan dengan
pemerintah.
2) Tidak menganggap kufur mereka selama
tidak terang-terangan menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma’) atas
kekufurannya, yaitu menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak
mungkin dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang bersifat
mutawatir atau yang didasari ijma’ yang diketahui secara luas (ma’lum min
ad-din bi ad-dharurah).
3) Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya,
selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.
4) Dalam ranah individu, penganut paham
Ahlussunnah wal Jamaah tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena
amalnya, sedangkan yang lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap
individu mempunyai dosa dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.
وَإِذَا
سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص: 55-56)
وَلِلّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129)
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ
يُنْجِىَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ ». قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ « وَلاَ إِيَّاىَ إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ
بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا ». (رواه مسلم)
(Referensi: Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, al-jami’ as-Shaghir, I/85,
Majma’ az-Zawa’id, I/375, al-Milal wa an-Nihal, II/321-322, dan Mafahim Yajib
an-Tushahhah, 18-19).
5. Konsistensi Menjaga Persatuan untuk
Memperkokoh Integritas Bangsa
NKRI dan Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa
sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam
Nusantara secara luas. Pertumbuhan Muslim di kawasan-kawasan mayoritas
non-Muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah
tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan
negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai
kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan.
Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila
sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit
Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw., yang berhasil menyatukan
masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah. Sebagaimana
diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn
Hisyam, Piagam Madinah diantaranya menyatakan:
بِسْمِ
اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ
وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ
أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ … وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ
يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا
مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ … وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ
أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ
وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ
إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ … وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ
نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ
عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ
وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ
بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ
الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا
لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ … وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ
عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ …
Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad Saw.
menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah (satu
kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak
mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan
agama, sama-sama berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat
kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan
negeri menghadapi ancaman dari luar.
Selain itu, untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural
perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama,
diantaranya dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama
apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang
lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain
karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang
paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan
kewajiban berbuat baik.
f.
Membiasakan
berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai
agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jama'ah.
وَلاَ
تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى
رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام
اية 108)
َلِلّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)
عن
ابن عمر أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه
و سلم: اختر منهن أربعا … (رواه ابن حبان. صحيح )
حدّثنا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ
الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ .
وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه ابن حبان. مسلم)
َلِلّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)
(Referensi: Al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Risalah al-Qusyairiyah, I/103,
Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212, dan al-Majalis as-Saniyyah, 87).
Musahih:
KH. Syafruddin Syarif
KH. Romadlon Khotib
KH. Marzuki Mustamar
KH. Farihin Muhson
KH. Muhibbul Aman Ali
Perumus:
Ahmad Asyhar Shofwan,
M.Pd.I.
H. Azizi Hasbulloh
H. MB. Firjhaun Barlaman
H. Athoillah Anwar
H. M. Mujab, Ph.D
Moderator:
Ahmad Muntaha AM
Notulen:
H. Ali Maghfur Syadzili,
S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi
Keterangan: jika ingin
mendownload hasil keputusan tersebut, silahkan klik di bawah ini.