Kisah Cinta Imam Ali dan Az-Zahra yang Penuh Berkah
12/02/2015
Fatimah adalah putri termuda Rasulullah saw. dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid. Ali bin Abu Thalib hidup sejak kecil dalam kafalah Rasulullah saw.. Beliau melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib yang juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa, disamping untuk meringankan Abu Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang demikian, maka bisa dikatakan bahwa Ali bukanlah termasuk laki-laki berharta, namun demikian beliau sangat kaya jiwa.
[BACA: Kenalilah Putera-Puteri Rasulullah - Mengenal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib]
Pintu hati Ali terketuk pertama kali saat Fatimah dengan sigap membasuh dan mengobati luka ayahnya, Muhammad SAW yang luka parah karena berperang. Dari situ, dia bertekad untuk melamar putri nabi. Lantas dengan tekun dia kumpulkan uang untuk membeli mahar dan mempersunting Fatimah. Malang, belum genap uang Ali untuk membeli Mahar, sahabat nabi Abu Bakar sudah terlanjur melamar Fatimah.
Hancur hati Ali, namun dia sadar diri kalau saingan ini punya kualitas iman dan Islam yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Walau dikenal sebagai pahlawan Islam yang gagah berani, Ali dikenal miskin. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah di jalan Allah.
Namun mendung seakan sirna saat Ali mendengar bahwa Rasulullah saw. menolaknya dengan halus.
Tapi keceriaan Ali kembali sirna saat orang dekat nabi lainnya, Umar Bin Khatab meminang Fatimah. Lagi-lagi Ali hanya bisa pasrah karena dia tidak mungkin bersaing dengan Umar yang gagah perkasa. Tapi takdir kembali berpihak kepadanya. Umar mengalami nasib serupa dengan Abu Bakar.
Tapi saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar dia hanya pemuda miskin. Bahkan harta yang dia miliki hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Kepada Abu Bakar As Siddiq, Ali mengatakan, "Wahai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang sebelumnya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah kerana aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar terharu dan mengatakan, "Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu-debu bertaburan belaka!"
Mendengar jawaban Abu Bakar, kepercayaan diri Ali kembali muncul untuk melamar gadis pujaannya saat teman-temannya sudah mendorong agar Ali berani melamar Fatimah.
Dengan ragu-ragu dia menghadap Rasulullah. Dari hadist riwayat Ummu Salamah diceritakan bagaimana proses lamaran tersebut.
"Ketika itu kulihat wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum baginda berkata kepada Ali bin Abi Talib, 'Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin?"
"Demi Allah," jawab Ali bin Abi Talib dengan terus terang, "Engkau sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasulullah menanggapi jawaban Ali bin Abi Talib, "Engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!". Demikianlah riwayat yang diceritakan Ummu Salamah r.a.
Pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra berlangsung antara perang Badar dan Uhud, tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah.
Pernikahan berlangsung dengan mahar sebuah baju besi untuk perang yang dijual oleh Ali kepada Usman dengan harga 400 dirham. Setelah Ali menerima uang 400 dirham, Usman mengembalikan baju perang tersebut kepada Ali, seraya berkata, “Ini adalah hadiah dariku untukmu.” Maka Ali mengambil baju besi itu dan uang tersebut.
Dalam mempersiapkan pernikahan tersebut, Abu Bakar ash-Shiddiq, Bilal, dan Salman al-Farisi membeli kebutuhan untuk pernikahan sesuai arahan dari Nabi, yang berupa satu buah kasur dari Goni, beberapa potong kulit, tempat air dari kulit, kendi, serta baju aba’ah dari khaibar dan alat penggiling gandum.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dan disaksikan oleh para sahabat, Rasulullah mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya,
"Bahwasanya Allah SWT memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas mas kawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
Maka pesta pernikahan pun berlangsung dengan meriah. Sa’ad mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing dan sebagian sahabat Anshar datang membawa beberapa sha’ (2,5 kg) jagung.
Sebagai tempat tinggal untuk Ali dan Fatimah, sahabat Haritsah bin Nu’man al-Anshari ra. menghadiahkan sebuah rumah kepada beliau.
Sekarang, Fatimah telah menjadi istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain. Beberapa saat setelah menikah dan siap melewati awal kehidupan bersama, yaitu malam pertama yang indah hingga menjalani hari-hari selanjutnya bersama, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, shalih, cerdas dan baik sepertimu.”
Ali pun menjawab, “Aku pun begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”
Fatimah pun berkata lagi dengan lembut, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “Tentu saja istriku, silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah pun berkata, “Wahai Ali suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya, ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau adalah imamku, maka aku pun ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi dan menaatimu. Marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.”
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama. Suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan shalihah. Tapi, Ali juga terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya, ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa bersalah karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang pemuda yang sangat baik hati. Ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah. Tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa tidak tega jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang, Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi di sisi lain, Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali masih saja terdiam. Bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau pikirkan kata-kataku itu.”
Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu. Kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah pun tersenyum haru mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa, mata Ali pun mulai keluar airmata. Lalu dengan sangat tulus, Ali berkata, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Kau masih suci. Aku rela agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu. Aku akan ikhlas, lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Karena ia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Cinta yang dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika itu juga, Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu. Namun ijinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata Fatimah mengalir semakin deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah.” Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah.”
Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya, ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah? Tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”
Fatimah lalu memeluk mesra lagi, lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu. Aku memendamnya bertahun-tahun. Sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku. Ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku? Pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”
Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu. Tapi dia hanya diam saja. Padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya. Aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar. Ia juga sangat mencintaiku.”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”
Berubahlah mimik wajah Ali menjadi sangat bahagia dan membalas pelukan Fatimah dengan dekapan yang lebih mesra. Mereka masih agak malu-malu. Saling bertatapan lalu tersenyum dan tertawa cekikikan karena tak habis pikir dengan ulah masing-masing. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan masa lalu dan berbagai hal. Malam itu pun mereka habiskan bersama dengan indah dalam dekapan Mahabbah-Nya yang suci. Subhanallah.
Kehidupan Ali bin abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra pun berlangsung dengan bahagia dan penuh kesahajaan. Namun demikian, sebagai sebuah rumah tangga, tentu cobaan akan menghampiri. Salah satunya adalah sebagaimana terekam dalam riwayat berikut.
Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah saw yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah saw. sedang mendapatkan tawanan perang. Fatimah pergi kepada Rasulullah saw tetapi dia tidak bertemu dengan beliau. Dia bertemu Aisyah. Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah saw. pulang, Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi saw. datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur. Aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku. Jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”
Ali dan Fatimah pun menjalani rumah tangga mereka dengan suka maupun duka. Buah cinta dari pernikahan Ali dan Fatimah adalah tiga putera tampan dan dua puteri cantik. Mereka semua adalah Hasan, Husein, Muhsin (meninggal saat masih dalam kandungan), Zainab (Zainab al-Kubra), dan Ummu Kulsum (menikah dengan Umar bin Khattab ra).
Selama berumah tangga, Ali sangat setia dengan Fatimah, ia tak memadu Fatimah. Cintanya Ali memang untuk Fatimah, begitupun cinta Fatimah memang untuk Ali, mereka juga bersama-sama hidup mulia memperjuangkan Islam. Hingga hari itu pun tiba, semua yang hidup pasti akan kembali ke sisi-Nya. Ali, Hasan dan Husein, serta puteri-puterinya dilanda kesedihan. Fatimah terlebih dahulu wafat, meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Wallahu a’lam
[BACA: Wasiat Fatimah Az-Zahra kepada Asma' Menjelang Wafat - Saat Azal Menjemput Rasulullah Saw.]
Dikutip dan disarikan dari berbagai sumber, seperti merdeka.com, dakwatuna.com, al-mabarrah.net, al-bayyinat.net dan al-shofwah.or.id
[BACA: Kenalilah Putera-Puteri Rasulullah - Mengenal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib]
Liku-Liku sebelum Pernikahan
Hancur hati Ali, namun dia sadar diri kalau saingan ini punya kualitas iman dan Islam yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Walau dikenal sebagai pahlawan Islam yang gagah berani, Ali dikenal miskin. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah di jalan Allah.
Namun mendung seakan sirna saat Ali mendengar bahwa Rasulullah saw. menolaknya dengan halus.
Tapi keceriaan Ali kembali sirna saat orang dekat nabi lainnya, Umar Bin Khatab meminang Fatimah. Lagi-lagi Ali hanya bisa pasrah karena dia tidak mungkin bersaing dengan Umar yang gagah perkasa. Tapi takdir kembali berpihak kepadanya. Umar mengalami nasib serupa dengan Abu Bakar.
Tapi saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar dia hanya pemuda miskin. Bahkan harta yang dia miliki hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Kepada Abu Bakar As Siddiq, Ali mengatakan, "Wahai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang sebelumnya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah kerana aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar terharu dan mengatakan, "Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu-debu bertaburan belaka!"
Mendengar jawaban Abu Bakar, kepercayaan diri Ali kembali muncul untuk melamar gadis pujaannya saat teman-temannya sudah mendorong agar Ali berani melamar Fatimah.
Dengan ragu-ragu dia menghadap Rasulullah. Dari hadist riwayat Ummu Salamah diceritakan bagaimana proses lamaran tersebut.
"Ketika itu kulihat wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum baginda berkata kepada Ali bin Abi Talib, 'Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin?"
"Demi Allah," jawab Ali bin Abi Talib dengan terus terang, "Engkau sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasulullah menanggapi jawaban Ali bin Abi Talib, "Engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!". Demikianlah riwayat yang diceritakan Ummu Salamah r.a.
Pesta Pernikahan (Walimah) pun Berlangsung Meriah
Pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra berlangsung antara perang Badar dan Uhud, tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah.
Pernikahan berlangsung dengan mahar sebuah baju besi untuk perang yang dijual oleh Ali kepada Usman dengan harga 400 dirham. Setelah Ali menerima uang 400 dirham, Usman mengembalikan baju perang tersebut kepada Ali, seraya berkata, “Ini adalah hadiah dariku untukmu.” Maka Ali mengambil baju besi itu dan uang tersebut.
Dalam mempersiapkan pernikahan tersebut, Abu Bakar ash-Shiddiq, Bilal, dan Salman al-Farisi membeli kebutuhan untuk pernikahan sesuai arahan dari Nabi, yang berupa satu buah kasur dari Goni, beberapa potong kulit, tempat air dari kulit, kendi, serta baju aba’ah dari khaibar dan alat penggiling gandum.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dan disaksikan oleh para sahabat, Rasulullah mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya,
"Bahwasanya Allah SWT memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas mas kawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
Maka pesta pernikahan pun berlangsung dengan meriah. Sa’ad mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing dan sebagian sahabat Anshar datang membawa beberapa sha’ (2,5 kg) jagung.
Sebagai tempat tinggal untuk Ali dan Fatimah, sahabat Haritsah bin Nu’man al-Anshari ra. menghadiahkan sebuah rumah kepada beliau.
Kisah 'Haru' saat Malam Pertama
Sekarang, Fatimah telah menjadi istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain. Beberapa saat setelah menikah dan siap melewati awal kehidupan bersama, yaitu malam pertama yang indah hingga menjalani hari-hari selanjutnya bersama, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, shalih, cerdas dan baik sepertimu.”
Ali pun menjawab, “Aku pun begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”
Fatimah pun berkata lagi dengan lembut, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “Tentu saja istriku, silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah pun berkata, “Wahai Ali suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya, ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau adalah imamku, maka aku pun ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi dan menaatimu. Marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.”
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama. Suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan shalihah. Tapi, Ali juga terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya, ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa bersalah karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang pemuda yang sangat baik hati. Ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah. Tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa tidak tega jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang, Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi di sisi lain, Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali masih saja terdiam. Bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau pikirkan kata-kataku itu.”
Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu. Kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah pun tersenyum haru mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa, mata Ali pun mulai keluar airmata. Lalu dengan sangat tulus, Ali berkata, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Kau masih suci. Aku rela agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu. Aku akan ikhlas, lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Karena ia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Cinta yang dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika itu juga, Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu. Namun ijinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata Fatimah mengalir semakin deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah.” Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah.”
Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya, ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah? Tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”
Fatimah lalu memeluk mesra lagi, lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu. Aku memendamnya bertahun-tahun. Sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku. Ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku? Pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”
Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu. Tapi dia hanya diam saja. Padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya. Aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar. Ia juga sangat mencintaiku.”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”
Berubahlah mimik wajah Ali menjadi sangat bahagia dan membalas pelukan Fatimah dengan dekapan yang lebih mesra. Mereka masih agak malu-malu. Saling bertatapan lalu tersenyum dan tertawa cekikikan karena tak habis pikir dengan ulah masing-masing. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan masa lalu dan berbagai hal. Malam itu pun mereka habiskan bersama dengan indah dalam dekapan Mahabbah-Nya yang suci. Subhanallah.
Mengarungi Kehidupan Rumah Tangga dengan Suka dan Duka
Kehidupan Ali bin abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra pun berlangsung dengan bahagia dan penuh kesahajaan. Namun demikian, sebagai sebuah rumah tangga, tentu cobaan akan menghampiri. Salah satunya adalah sebagaimana terekam dalam riwayat berikut.
Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah saw yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah saw. sedang mendapatkan tawanan perang. Fatimah pergi kepada Rasulullah saw tetapi dia tidak bertemu dengan beliau. Dia bertemu Aisyah. Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah saw. pulang, Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi saw. datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur. Aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku. Jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”
Ali dan Fatimah pun menjalani rumah tangga mereka dengan suka maupun duka. Buah cinta dari pernikahan Ali dan Fatimah adalah tiga putera tampan dan dua puteri cantik. Mereka semua adalah Hasan, Husein, Muhsin (meninggal saat masih dalam kandungan), Zainab (Zainab al-Kubra), dan Ummu Kulsum (menikah dengan Umar bin Khattab ra).
Selama berumah tangga, Ali sangat setia dengan Fatimah, ia tak memadu Fatimah. Cintanya Ali memang untuk Fatimah, begitupun cinta Fatimah memang untuk Ali, mereka juga bersama-sama hidup mulia memperjuangkan Islam. Hingga hari itu pun tiba, semua yang hidup pasti akan kembali ke sisi-Nya. Ali, Hasan dan Husein, serta puteri-puterinya dilanda kesedihan. Fatimah terlebih dahulu wafat, meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Wallahu a’lam
[BACA: Wasiat Fatimah Az-Zahra kepada Asma' Menjelang Wafat - Saat Azal Menjemput Rasulullah Saw.]
Dikutip dan disarikan dari berbagai sumber, seperti merdeka.com, dakwatuna.com, al-mabarrah.net, al-bayyinat.net dan al-shofwah.or.id