Mengenal Walisongo; Lengkap
11/21/2015
Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera,
selanjutnya penyiaran agama Islam berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara.
Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam.
Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, Islam
sampai ke tanah Jawa.
Pada sisi lain ada yang menyatakan penyebaran Islam di Jawa dirintis
oleh para saudagar muslim dari Malaka. Malaka merupakan kerajaan Islam yang
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah. Para
saudagar muslim pada mulanya perambah daerah-daerah pesisir utara Jawa. Di
daerah-daerah ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang telah melepaskan diri
dari kekuasaan Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Giri.
Melalui kontak perdagangan tersebut, akhirnya masyarakat Jawa mengenal Islam.
Walisongo sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran
walisongo memiliki pengaruh yang besar di kalangan masyarakat Jawa, bahkan
kadangkala menyamai pengaruh seorang raja. Masyarakat jawa memberikan gelar
sunan kepada walisongo. Kata Sunan diambil dari kata susuhunan yang artinya,
“yang dijunjung tinggi / dijunjung di atas kepala”, gelar atau sebutan yang
dipakai para raja. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki
nilai kekeramatan dan kemampuan-kemampuan di luar kelaziman.
Walisongo merupakan sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang
penyiaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Sekalipun masih terdapat
perbedaan pendapat tentang nama-nama Walisongo. Namun yang lazim dikaui sebagai
Walisongo sebagai berikut;
1. Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik
2. Raden Rahmat atau Sunan
Ampel
3. Raden Maulana Makhdum
Ibrahim
4. Raden Mas Syahid atau
Sunan Kalijaga
5. Raden Paku (Raden Ainul
Yakin) atau Sunan Giri
6. Raden Kosim Syarifuddin
atau Sunan Drajat Sedayu
7. Raden Ja’far Sadiq atau
Sunan Kudus
8. Raden Said (Raden Prawoto)
atau Sunan Muria
9. Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati
Proses islamisasi Jawa adalah hasil perjuangan dan kerja keras para
walisongo. Proses islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris
tanpa konflik baik politik maupun kultural. Meskipun terdapat konflik, skalanya
sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai perang, kekerasan, ataupun
pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut Islam dengan sukarela.
Kehadiran walisongo bisa
diterima dengan baik oleh masyarakat, karena
Walisongo menerapkan metode dakwah yang akomodatif dan lentur.
Kedatangan para wali di tengah-tengah masyarakat Jawa tidak dipandang sebagai
sebuah ancaman. Para wali menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hindu dan Budha)
sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit demi sedikit walisongo memasukkan
nilai-nilai ajaran Islam ke dalam unsur-unsur lama yang sudah berkembang.
Metode ini biasa disebut dengan metode sinkretis.
Wali Songo dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat
menyebarkan agama Islam diberi julukan Waliyullah dan di Jawa dikenal sebagai
Wali Songo, yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding
kepercayaan /agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih,
ilmu yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan
tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak
hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan
pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang
berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang
adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah
kekuasaan Islam di tanah Jawa.
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia
disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali
Songo .
Maulana Ia diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Penyebutan as-Samarkandy berubah menjadi Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419 M.
Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik,
Jawa TimurMalik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia
merangkul masyarakat bawah, kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah
misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika
itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan
menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik
Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia
lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama
tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang
kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Menurut riwayat lain menatakan bahwa ia adalah putra Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja
Champa Terakhir Dari Dinasti Ming.
Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang
bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah
juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden
Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan
di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan
Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang
pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi
Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja.
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang
mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga
ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel,
tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan
Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah
"Giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan
dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu
fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta
karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir
dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau
Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama
Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang
-desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di
desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi
pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk
berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau
inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah
barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan
Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat “cinta” ('isyq). Sangat
mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Sunan Bonang, cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT
atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang
tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi
kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak
menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga
digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika
itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental
(alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan
Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir
khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
5. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden
Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke
pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun pesisir Banjarwati
atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1
kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini
bernama Desa Drajat, Paciran, Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya:
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara
penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah
suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri
pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
6. Sunan Kalijaga
Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat
Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban, keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa
itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah
nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman. Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan
wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga
kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab
"qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu
suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon
dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
(pembimbing/penasehat) sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (bersifat mencari
penyesuaian) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju
Takwa, Perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap (pemandangan) pusat kota berupa keraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogya). Sunan
Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
7. Sunan Kudus
Nama kecilnya Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan
Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke
berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada
budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para
wali, yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya
pemeluk teguh, menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus.
Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan
jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo
Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak.
Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur
melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
8. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama
Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul
dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya
pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu
hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra'
Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat
Nabi Sulaeman.
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya
Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan
Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali
songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu
Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Diambil dari berbagai sumber
Diambil dari berbagai sumber