Kisah Rasulullah saw. Hendak Dibalas Qishash Oleh Sahabatnya
11/13/2015
Ibnu Abbas Ra. Meriwayatkan: “Menjelang hari-hari
terakhir wafatnya Rasulullah Saw., beliau memerintahkan kepada Bilal Ra. untuk
mengumandangkan adzan. Orang-orang berdatangan menuju ke Masjid Nabi. Mereka
berkumpul, baik dari golongan kaum Muhajirin maupun Anshar.
Kemudian Rasulullah Saw. memimpin shalat dua rakaat
dengan bacaan yang ringan, atau tidak membaca ayat-ayat yang panjang. Kaum
muslimin yang hadir bermakmum kepada beliau. Usai shalat, Rasulullah Saw. naik
ke mimbar. Beliau membaca hamdalah dan kemudian menyampaikan beberapa nasihat
dengan kata-kata yang tegas.
Para sahabat yang mendengar suara Rasulullah Saw. saat
itu menjadi gemetar hatinya. Perlahan tapi pasti, mereka semua kemudian
menangis.
“Wahai kaum muslimin,” seru Rasulullah Saw.,
“sesungguhnya aku ini adalah nabi dan sekaligus penasihat bagi kalian. Aku ini
juga sebagai orang yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan izinNya. Aku
ini bagaikan saudara kandung yang sayang dan laksana ayah yang welas asih.”
Demikian diantaranya bunyi sabda Rasulullah Saw. saat itu.
“Barangsiapa yang mempunyai hak atas diriku yang bisa dituntut, maka hendaklah ia berdiri dan membalas haknya kepadaku saat ini, sebelum aku dituntut balas di hari kiamat nanti,” lanjut Rasulullah Saw.
Semua hadirin menjadi terdiam dalam tangis mereka. Tak
seorang pun yang berdiri untuk menuntut balas kepada Nabi yang mereka cintai
itu. Sehingga Rasulullah Saw. merasa perlu untuk mengulang pernyataannya saat
itu hingga dua sampai tiga kali.
“Akan tetapi,” lanjut Ukasyah, “tiba-tiba saja engkau
mengangkat cambukmu dan memukulkannya ke arah untamu, agar ia berjalan dengan
cepat. Pada saat itu, ujung cambukmu telah mengenai tiga ruas tulang rusukku.
Aku tak tahu, apakah saat itu engkau sengaja mengenaiku atau tidak,” ujar
Ukasyah mengakhiri ceritanya.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Ukasyah,
sesungguhnya Rasulullah dijauhkan dari bersikap sengaja memukulmu.” Kemudian
Rasulullah Saw. berpaling ke arah sahabat Bilal Ra. seraya berkata: “Hai Bilal,
pergilah ke rumah Fathimah dan ambilkan cambuk saya.”
Lalu sahabat Bilal Ra. keluar dari masjid sembari
meletakkan tangannya di atas kepalanya. “Rasulullah telah menyediakan dirinya
untuk diqishash,” gumamnya lirih. Setibanya di rumah Fathimah Ra., Bilal
mengetuk pintu. Setelah Sayyidah Fathimah bertanya tentang siapa yang datang,
Bilal menjawab: “Aku Bilal, bermaksud untuk mengambil cambuk Rasulullah Saw.”
“Bilal, ada apakah gerangan sehingga ayahku memerlukan
cambuknya?” tanya Fathimah Ra.
“Sesungguhnya, ayahmu telah menyediakan dirinya untuk
diqishash,” jawab Bilal Ra.
Mendengar keterangan Bilal itu, Fathimah Ra. menangis.
“Bilal, siapakah gerangan yang sampai hati akan mengqishash Rasulullah?” Tanya
Fathimah Ra. di sela-sela isak tangisnya sembari menyerahkan cambuk Rasulullah
Saw. kepada sahabat Bilal Ra.
Sahabat Bilal Ra. terdiam. Ia sendiri merasa bersedih
dengan kejadian itu. Setelah menerima cambuk Rasulullah Saw. tersebut, ia
segera berlalu dari hadapan Fathimah menuju ke masjid lagi.
Detik-Detik Mengharukan
Setibanya Bilal di masjid, segera cambuk itu diserahkan
kepada Rasulullah Saw. Selanjutnya, beliau Saw. menyerahkan cambuk itu kepada
Ukasyah. Detik-detik pelaksanaan qishash akan segera berlangsung.
Sahabat Abu Bakar Ra. dan Umar Ra. tak sanggup
membayangkan apa yang akan terjadi terhadap diri Rasulullah Saw. Dengan
serentak, kedua sahabat Rasulullah Saw. tersebut berdiri dan meminta kepada
Ukasyah agar menjadikan mereka sebagai penerima qishash yang ditujukan untuk
Rasulullah Saw. tersebut.
“Hai Abu Bakar dan Umar, kalian duduklah. Sesungguhnya,
Allah Maha Mengetahui tempat kalian berdua,” ujar Rasulullah Saw.
Sahabat Ali Kw. pun segera bediri dan berseru kepada
Ukasyah: “Ukasyah, selama hidupku, aku selalu mendampingi Rasulullah Saw. Ini
punggung dan perutku, jatuhkanlah qishash itu padaku. Cambuklah aku saja dengan
tanganmu.”
Rasulullah Saw. pun memerintahkan agar sahabat Ali Kw.
untuk duduk kembali. “Duduklah Ali. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui niat dan
tempatmu,” perintah Rasulullah Saw.
Dua orang putra sahabat Ali Kw., yakni Hasan dan
Husain, kemudian berdiri menyusul ayah mereka. Kedua orang ini merupakan cucu
kesayangan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. kerap menggendong mereka dan
meredakan tangisan mereka di masa mereka masih berusia kanak-kanak. Kini,
mereka telah menjadi dua pemuda titisan darah Rasulullah Saw. dan tampil ingin
membela kakeknya. “Ukasyah, bukankah engkau mengetahui betul bahwa kami ini
adalah cucu Rasulullah? Oleh karena itu, jika engkau menjatuhkan qishash
tersebut kepada kami, itu sama saja dengan engkau telah mengqishash Rasulullah
Saw.,” ujar kedua cucu Rasulullah Saw. tersebut.
“Buah hatiku,” tegur Rasulullah kepada Hasan dan
Husain, “duduklah kalian berdua,” lanjut Rasulullah Saw. Keduanya pun mematuhi
kata-kata Rasulullah Saw.
Selanjutnya Rasulullah Saw. memandang Ukasyah yang
hanya diam membisu mendengarkan segala pembelaan dari sahabat dan keluarga
Rasulullah Saw. tersebut. “Hai Ukasyah, sekarang mulailah laksanakan qishashmu.
Cambuklah aku,” ucap Rasulullah Saw. kepada Ukasyah.
Namun Ukasyah masih mengajukan syarat lainnya. Ia
berkata: “Ya Rasulullah, ketika aku terkena cambukanmu waktu itu, aku tidak
mengenakan pakaian.”
Tanpa berkata-kata lagi, Rasulullah Saw. langsung
membuka pakaiannya. Hingga tampaklah badan Rasulullah Saw. dari bagian perutnya
hingga ke atas. Putih dan penuh cahaya barakah.
Menyaksikan pemandangan itu, serentak semua sahabat
yang hadir menjerit dan menangis pilu. Mereka tak sampai hati melihat
Rasulullah Saw. diperlakukan seperti itu. Tetapi, yang demikian itu adalah
kehendak Rasulullah Saw. Dan kehendak Rasulullah Saw. berarti sama juga dengan
kehendak Allah Azza wa Jalla.
Sementara itu, Ukasyah yang memandang tubuh Rasulullah
Saw. dari jarak yang paling dekat, menjadi gemetar sekujur tubuhnya. Selama
beberapa menit, ia telah menahan gejolak perasaannya untuk memperoleh
kesempatan yang diidam-idamkan. Maka ia segera memeluk tubuh Rasulullah Saw. yang putih
bersinar itu dan mencium tanda kenabian beliau. Tanda kenabian itu terletak di
punggung Rasulullah Saw. Tepat di antara dua belikatnya.
“Ya Rasulullah, aku rela menebus jiwamu dengan jiwaku. Maka, bagaimana mungkin aku sampai hati mengqishash dirimu. Sungguh, aku melakukan hal ini agar badanku dapat bersentuhan dengan badanmu. Sehingga, dengan demikian, Allah akan menghindarkan aku dari siksa api neraka dengan sebab kemuliaanmu,” ujar Ukasyah seraya menangis tersedu-sedu.
Ternyata itulah keinginan Ukasyah yang sudah tertancap sejak awai keislamannya. Keinginan itu pernah ingin ia laksanakan pada masa Perang Badar, tetapi tak juga dapat terlaksana. Bahkan, gara-gara keinginannya itulah, ia terkena sabetan cambuk Rasulullah Saw. Dan justru karena sabetan cambuk itulah, maka Allah memberikan kesempatan emas itu lagi kepadanya.
Orang yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. itu tak lain
adalah Ukasyah, seorang sahabat yang rela menerima segala kecurigaan para
sahabat Rasul lainnya tentang dirinya yang dianggap ingin mengqishash
Rasulullah Saw. Hal itu ia lakukan dengan sabar, demi untuk dapat mencium tanda
kenabian Rasulullah Saw.
Mendengar sabda Rasulullah Saw. tersebut, para sahabat
serempak berdiri mengucapkan selamat kepada Ukasyah.
“Hai Ukasyah, engkau telah memperoleh keuntungan yang sangat besar dan derajat yang tinggi karena akan berteman dengan Rasulullah Saw. di surga,” ujar mereka dengan penuh keharuan.
Dikutip dari buku ‘Mutiara Hikmah; Kisah Para Kekasih
Allah’ dengan beberapa perubahan.