Ketika Para Kyai Dibunuh (1)
11/14/2015
“Kalangan PKI panik mendengar kabar gerak maju pasukan Siliwangi ini. Mereka kemudian dengan membabi buta dan secara keji mulai menghabisi para tawanan yang masih ada dan disekap di kamar-kamar loji (Gorang Gareng, Madiun) ini..."
Saya bersama dua orang yang selamat, berusaha bangkit
dari timbunan mayat (orang-orang yang dibantai PKI). Astaghfirullah..ruangan
ini benar-benar banjir darah. Saya masih ingat, ketika Siliwangi datang pada
lewat tengah hari, pintu kamar didobrak dari luar. Daun pintunya sempal dan
roboh, jatuh ke lantai. Saking banyaknya darah membanjir di lantai, daun pintu
yang tebalnya lebih 4cm itu mengapung di atas genangan darah. Saya melangkah ke
luar pun, merasakan betapa banjir darah yang menggenang di lantai kamar dan
sepanjang koridor, mencapai di atas mata kaki saya,”kisah . Kiyai Roqib kepada
wartawan Halwan Aliuddin tahun 2005. Kiyai Roqib adalah Imam Masjid Jami’
Baitus Salam, Kabupaten Magetan. Pada 1948, saat usianya belum genap 20 tahun
guru ngaji ini ditangkap PKI dan terjadilah peristiwa yang mengerikan itu.
Lain lagi kisah dari Kiyai Daenuri. KH Achmad Daenuri
adalah pimpinan Pondok Pesantren ath Thohirin, Mojopurno, Magetan. Ia adalah
salah satu putra KH Soelaiman Zuhdi Affandi korban kekejaman PKI 1948.
Pesantren yang didirikan ayahnya itu menjadi pusat latihan generasi muda
melawan Belanda dan Jepang. Pada 1948, Kiyai Daenuri baru berusia 10 tahun. Ia
melihat ayahnya Kiyai Affandi ditangkap PKI dengan cara licik. “Ketika beliau
sedang iktikaf di Masjid, dibopong dari belakang dan diculik,”terangnya. Kiyai
Affandi diseret-seret dan disekap bersama ratusan tawanan lain, umumnya tokoh
agama dan partai, di rumah loji Belanda di kawasan Pabrik Gula Gorang-Gareng
(kini Pabrik Gula Rejosari, Magetan).
Dari tempat penyekapan ini, ayahnya bersama sejumlah
tawanan lain dipindahkan ke desa Soco, Magetan dengan menggunakan kereta api
lori pengangkut gula dan tebu. Gerbong kereta sangat sempit dan dijejali
puluhan tawanan lain. Kiyai Daenuri mendapat kesaksian tentang kematian ayahnya
ini dari beberapa tawanan lain yang selamat. Selama dalam penyekapan itu
ayahnya mendapat siksaan yang keji, namun berbagai penyiksaan itu tidak mampu
membunuh ayahnya.
“PKI jengkel menghadapi kiyai yang demikian digdaya,
tidak mempan senjata tajam apapun bahkan kebal peluru senjata api. Karenanya
pada suatu kesempatan, ketika beliau meminta izin untuk mengambil air wudhu,
seorang anggota PKI mendorong beliau hingga tercebur ke dalam sumur. Segera
setelah itu sumur ditimbun dengan puluhan hingga ratusan jenazah lain dari para
syuhada. KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup oleh PKI,”papar Kiyai
Daenuri.
Sebelumnya diketahui bahwa jumlah syuhada yang dikubur
di beberapa sumur pembantaian di Desa Soco adalah 67 orang dan telah diketahui
nama-namanya, Namun setelah sumur dibongkar, ternyata ditemukan 108 kerangka
jenazah. Kerangka jenazah dievakuasi dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Kota Madiun. Para syuhada dikuburkan kembali dalam satu liang lahat dan diberi
prasasti dengan sebutan Makam Soco. Prasasti atau nisan besar itu memuat 67
nama syuhada, sedang 41 korban lainnya, dengan nomor urut 68 hingga 108,
dinyatakan tidak dikenal.
Selain Kiyai Affandi, kakak dan adik Kiyai Affandi yang
juga guru ngaji, menjadi korban kekejian PKI. Ketika pecah Gerakan G 30S PKI,
Pesantren Ath Thohirin yang dipimpin Kiyai Daenuri menjadi pusat konsentrasi
para pemuda GP Anshor untuk menyiapkan diri menghadapi PKI. “Kami bukan
mendendam, karena para leluhur kami dihabisi PKI. Tapi komunis adalah lawan
kami yang senyata-nyatanya. Karena komunis secara jelas menyatakan anti agama
dan anti Tuhan. Untuk melawan komunis, kami harus senantiasa berada di barisan
depan,”kata Kiyai Daenuri.
Kekejian yang dilakukan PKI terhadap Kiyai Dimyathi
(Mbah Ngompak) lebih mengerikan lagi. “Ketika tengah melakukan shalat malam,
Mbah Ngompak diseret ke luar masjid, kemudian diikat, dan akhirnya diseret
dengan menggunakan kuda hingga sejauh 10km mencapai Kota Kawedanan Walikukun,
Ngawi. Kabarnya ketika itu, Mbah Ngompak belum juga wafat. Penyeretan kemudian
kembali dilakukan ke arah Ngrambe. Namun setelah berjalan sejauh 4km,
orang-orang PKI itu berhenti di sebuah jembatan di kawasan Wot Galeh. Dari atas
jembatan ini, tubuh Mbah Ngompak dilempar ke sungai yang curam. Jasad beliau
ditemukan sudah dalam kondisi yang sangat mengenaskan,”tutur Kiyai Damami,
salah seorang cucunya yang kini tinggal di Pesantren Tanjungsari, Jogorogo,
Ngawi.
Dalam aksinya September 1948 di daerah Madiun dan
sekitarnya itu, memang ulah yang dilakukan PKI mengerikan. Selain pengakuan
para saksi yang kini umurnya sudah 65 tahun-an ke atas, foto-foto dan
monumen-monumen serta berita-berita di surat kabar waktu itu menunjukkan
fakta-fakta otentik kekejian PKI ini. Pemimpin Redaksi Harian Abadi, Soemarso
Soemarsono saat itu membuat catatan bahwa setelah rakyat dan TNI mengusir PKI
dari Madiun, Magetan dan sekitarnya, ditemukan sebuah dokumen PKI yang
menyatakan:
1.
Supaya para
pengikut PKI Muso terus menjalankan sabotase
2.
Melakukan
penculikan-penculikan
3.
Membunuh
orang-orang yang merintangi maksud mereka
4.
Mengadakan
pembakaran-pembakaran dan penculikan-penculikan
5.
Melakukan aksi
militer
Soemarso juga menuliskan bahwa menurut berita yang
dilansir Harian Nasional terbitan 15 Oktober 1948, Dr Abu Hanifah (pimpinan
Masyumi) menerangkan bahwa kerugian-kerugian dari tindakan Amir (Syarifudin)
dan Muso yang diderita oleh anggota-anggota Masyumi belum dapat ditaksir. Hanya
kalau untuk membangun kembali maka kira-kira akan dibutuhkan waktu 5 tahun.
“Menurut laporan yang sah, para pemimpin Masyumi yang telah mati terbunuh di
Madiun ada 22 orang, di Magetan 13 orang, Ngawi 12 orang dan di Ponorogo 22
orang. Sedangkan di Cepu ada 140 orang anggota Masyumi dimasukkan dalam kereta
api dan tidak diberi makan selama 3 hari. Sekarang mereka dalam keadaan yang
sangat menyedihkan,”tulis Pemred Abadi, harian milik Masyumi ini.
[Bersambung ke Ketika Para Kyai Dibunuh (2)]
Oleh Nuim Hidayat dalam sharia.or.id, 4/11/15
[Bersambung ke Ketika Para Kyai Dibunuh (2)]
Oleh Nuim Hidayat dalam sharia.or.id, 4/11/15