Kisah ketika Buku-Buku menjadi Tempat Penyeberangan
11/06/2015
KETIKA pasukan Tartar (Mongolia) –yang dipimpin Hulagu Khan- menaklukkan
Baghdad (656 H/1258 M), kavalerinya membuang buku-buku yang berada di
perpustakaan Bagdhad ke sungai Tigris. Buku yang berjumlah banyak tersebut,
dijadikan jembatan penyebrangan dari arah Barat ke Timur (baca: Rāghib
al-Sirjāni , Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ila `Ain Jālūt, 161-162).
Bayangkan, luas sungai Tigris yang hampir sama
dengan Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter) itu, dipenuhi buku untuk
dijadikan jembatan.
Anda bisa membayangkan berapa besar jumlah buku
yang ada saat itu. Ada satu kata kunci untuk memahami cerita tersebut, yaitu:
produktivitas tulisan para ulama.
Banyaknya buku yang tersimpan diperpustakaan
Baghdad adalah salah satu bukti prokdutivitas ulama dalam bidang kepenulisan.
Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh mengenai
produktivitas ulama dalam hal menulis di antaranya: Ibnu Jarir At-Thabari,
karangannya berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu menulis sebanyak
40 lembar ( dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu al-Fattah Abu Ghuddah,
43).
Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya sebanyak lima
ratus buku ( dalam Qimatu al-Zaman, 56). Abu Bakar al-Bāqalāni tidak tidur
hingga menulis 35 lembar (Qimatu al-Zaman, 86) dan ulama lainnya.
Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak contoh
produktivitas ulama dalam bidang tulisan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, “Mengapa
mereka bisa produktif di zaman yang fasilitas untuk menulis begitu ala
kadarnya, hanya tinta dan kertas. Pada zaman itu, untuk menggandakan buku
saja harus ditulis ulang secara manual?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini
akan dijelaskan secara gambalang –melalui kaca mata historis peradaban Islam-
tentang rahasia produktivitas ulama dalam bidang tulisan. Di antara rahasianya
ialah:
Pertama, para ulama menulis didasari keikhlasan
sebagai investasi akhirat (dakwah). Dalam hadits disebutkan, bahwa mereka
adalah pewaris para Nabi (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi).
Bagi mereka menulis bukan sekadar urusan hobi,
karena mereka adalah penerus estafeta perjuangan para Nabi, maka menulis adalah
urusan investasi akhirat.
Kedua, manajemen waktu yang mantap dan brilian.
Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas kehidupan. Sehingga,
memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin sukses. Sebagai
contoh riil-tanpa bermaksud membatasi-, Ibnu Jarir At-Thabari yang mampu
menulis 40 lembar tulisan dalam sehari sangat pandai dalam mengatur waktu.
Muridnya sendiri –al-Qadhi Abi Bakar bin
Kamil-memberi kesaksian bahwa beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis dari
ba`da Dzuhur hingga Ashar (baca: Qīmatu al-Zaman, hal. 44). Bahkan, menjelang
meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu(hal. 44).
Ibnu Rusyd –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan
mala-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam
saja: Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam pengantin (baca: Kaifa
Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni).
Lebih dari itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab
al-Nahwi (Ahmad bin Yahya al-Syaibani), di antara sebab wafatnya ialah karena
ditabrak kuda ketika membaca buku hingga jatuh ke jurang (baca: wafayātu
al-A`yān, Ibnu Khillikan, 1/104).
Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus dalam
manajemen waktu. Ia minta dibacakan buku ketika sedang buang hajat, supaya
waktunya tidak sia-sia (baca: Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah, Ibnu Rajab
al-Hanbali, 2/249).
Cerita-cerita tersebut, menunjukkan bahwa
mereka sangan pandai mengatur waktu. Sehingga, wajar kalau mereka sangat produktiv
menulis. Bagi siapa saja yang ingin produktiv menulis, maka tak ayal lagi harus
menapaktilasi jejak mereka dalam manajemen waktu.
Ketiga, apresiasi negara yang begitu tinggi pada
penulis.
Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah
Abbasiyah-misalnya, memberi imbalan emas bagi para penerjemah buku (baca:
`Uyūnu al-Anbā`, Ibnu Abi Ushaibah, 2/133).
Para penulis pada masa itu sangat didukung dan
dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis sedemikian tinggi. Salah
satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari banyaknya perpustakaan.
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah
menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota,
di rumah sakit dan lain sebagainya. Waktu itu perpustakaan dibagi menjadi lima
bagian: Pertama, perpustakaan akademis. Kedua, pribadi. Ketiga, umum. Keempat,
sekolah. Kelima, perpustakaan masjid dan universitas (baca: Rāghib al-Sirjāni,
Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-`Ālam Ishāmātu al-Muslimīn fī al-Hadhārah
al-Insāniyah,hal. 224-225)..
Di antara contoh perpustakaan besar dalam Islam
ialah: Perpustakaan Baghdad (yang jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai bisa
dibuat jembatan oleh Tartar).
Perpustakaan Darul `Ilm Kairo (Setiap bagian
berisi 18000 buku) lebih dari tujuh ratus ribu kitab. Perpustakaan Cordova
(berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli (baca: Kaifa Tushbihu
`Āliman, Raghib al-Sirjani).
Ada juga perpustakaan koleksi pribadi. Sebagai
contoh, Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika dia mau pindah dari satu tempat ke
tempat lain, ia membutuhkan seratus unta untuk mengangkatnya.
Al-Shahib bin `Abbād, menurut penuturan Gustav
Lobon atau Will Durent: “Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, pada abad keempat
hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa.
Dari paparan di atas, kita bisa mengetahu bahwa
ada tiga hal mendasar di balik produktivitas ulama dalam bidang tulisan:
Pertama, keikhlasan.
Mereka menulis dalam rangka investasi akhirat,
bukan mencari sekadar dunia atau sanjungan umat.
Kedua, mereka sangat pandai dalam manajemen waktu.
Ketiga, adanya apresiasi dan kontribusi negara.
Bila ketiga hal tersebut saling bersinergi, maka
produktivitas ulama dalam bidang tulisan akan kembali bangkit.
Kalau diamati secara cermat, problem umat Islam
sekarang ini, terkait dengan lesuhnya produktivitas ulama dalam bidang tulisan,
diakibatkan banyaknya orang menulis bukan dalam rangka investasi akhirat, tapi
orientasi keduniaan.
Di samping itu, tidak pandai menghargai waktu. Dan
yang terpenting, negara sebagai lembaga paling strategis dalam mengembangkan
produktivitas, kurang apresiatif dalam menghargai karya-karya penulis.
Mudah-mudahan, dengan mengetahui rahasia
produktivitas ulama dalam bidang tulisan, kita sebagai umat Islam, kembali bisa
produktiv, sehingga nilai-nilai luhur Islam bisa tersebar ke seantero alam.
Bukan saja tersebar secara lisan, namun juga tulisan. Apalagi di era
perkembangan teknologi-informasi seperti sekarang ini, keinginan itu
sangat riil, bukan mustahil. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc dengan judul asli ‘Ketika
Pasukan Tartar Menjadikan Buku Para Ulama sebagai Tempat Penyeberangan’ dalam
hidayatullah.com, 16/3/15