Inilah Dialog antara Ibnu Abbas dan Khawarij; Lengkap
11/06/2015
Kaum khawarij adalah kaum yang memisahkan diri
dari Ali bin Abi Thalib ra.. Mereka tidak puas dengan keputusan Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah yang melakukan tahkim (arbitrasi). Akibatnya, mereka
memberontak bahkan mengkafirkan orang-orang yang menyetujui arbitrase tersebut.
Dalam sebuah sejarah, pernah terjadi sebuah dialog
yang indah antara kaum khawarij dan sahabat Ibnu Abbas ra., sebagaimana terekam
dalam kitab Talbis Iblis karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Maka berikut adalah
dialognya.
Permintaan Izin Ibnu Abbas
ra. kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Orang-orang Khawarij
memisahkan diri dari Ali ra, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari
ketaatan (memberontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu berjumlah enam ribu
orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang
yang mengunjungi Ali ra melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai
Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan
memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan
melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu
Zuhur aku menjumpai Ali ra.. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah
cuaca dingin untuk shalat Zuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka
(Khawarij) berdialog.”
‘Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Wahai Ibnu
Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas ra.: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah
kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak
pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali ra mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai,
kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di
tengah siang.”
Tiga Alasan Khawarij Memberontak
Ibnu Abbas ra. berkata: “Sungguh aku dapati diriku
masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang
sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas
sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat
pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka
menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas ra. Apa gerangan yang membawamu
kemari?”
Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari
sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah saw.
(Ali bin Abi Thalib, maksudnya: pent) yang
kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling
mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas ra. itu, berkatalah sebagian
Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang
Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas ra, pen.). Sesungguhnya Allah l
berfirman:
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar.” (Az-Zukhruf:
58)
Padahal kita tahu, Ibnu Abbas ra. adalah orang yang paling mengerti
ayat al-Qur’an.
Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan
mendebatnya!”.
Aku (Ibnu Abbas ra.) berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan,
mengapa kalian membenci menantu Rasulullah saw. beserta sahabat Muhajirin dan
Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula
seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali ra. adalah orang)
yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”
Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”
Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan
manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah l, padahal Allah
swt. berfirman:
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah l...” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.
Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah
berperang dan membunuh (maksudnya: saat perang Jamal) tapi kenapa tidak mau
menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (Aisyah dan barisannya) itu mukmin
tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula
tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas ra. berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul
Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena
menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin
orang-orang kafir).”
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka
berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Jawaban Ibnu ‘Abbas ra. atas Tiga Alasan
Khawarij
Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali ra telah menggunakan
manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum
muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat
kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah swt. telah
menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam
menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram
(haji dan umrah, edit). Allah swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum)
dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai
ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang
miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia
merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah
lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah:
95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa,
Allah swt. juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia
untuk mendamaikan antara keduanya. Allah swt. berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa:
35)
Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia
untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara
mereka (sebagaimana yang dilakukan Ali ra. dengan mengutus Abu Musa al-Asy’ari
untuk menghentikan perang Shiffin) lebih pantas untuk dilakukan, atau
hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita?
Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk
mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah
pertama?” Mereka berkata: “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali ra. telah
memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang
diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan
kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah l! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni
kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah
swt.). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan
menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya
orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian
berada di antara dua kesesatan, karena Allah swt. berfirman:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab:
6)
Ibnu Abbas ra. berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya.”
Ibnu Abbas ra berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali ra.
telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka
(sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang
kalian ridhai, yaitu Rasulullah saw.. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari
Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan
orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang
terjadi?
Ketika itu Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ra.: “Wahai Ali,
tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad
Rasulullah…”
Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau
engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami
tidak akan memerangimu.”
Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa
aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad
bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan
Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas ra. berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah saw. lebih
mulia dari Ali ra.. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah
dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata
Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau?
Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul
Mukminin?)
Ibnu Abbas ra. berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka,
sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga
mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).” (Pustaka Madrasah)