Kisah Dialog Imam Abu Hanifah dan Imam al-Baqir tentang Qiyas
11/17/2015
Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Imam Abu Hanifah adalah
seorang pendiri mazhab Hanafiyah yang terkenal dengan penggunaan qiyas dan
ra’yun dalam pengambilan hukum. Beliau adalah salah satu fuqahaa’ al-Iraq
(ahli fikih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih Al-Kufah.
Sayangnya, kabar penggunaan qiyas dan juga ra’yun (Istihsan)
sering dinegatifkan oleh sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah dan
beberapa ulama fikih Irak sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak meninggalkan
atsar/hadis dalam menentukan sebuah hukum syariah. Padahal sejatinya tidak
demikian.
Suatu ketika Imam Abu Hanifah (150 H) sempat bertemu dan berdialog
dengan Imam Muhammad Al-Baqir (114 H), yang mana beliau adalah guru dan faqihnya Ahl
Bait. (Ada yang mengatakan bahwa yang berdialog itu Zaid bin Ali
Zainal-‘Abidin (122 H), yang merupakan adik dari Imam Muhammad Al-baqir).
Tentu, kabar tentang ulama yang banyak meninggalkan atsar/hadis dalam
istimbath hukum sangat membuat Imam Muhammad al-Baqir marah. Akhirnya ketika bertemu
dalam salah satu perjalanan hajinya, Imam Abu Hanifah yang memang sudah tahu kebesaran
dan keluasan ilmu Imam Muhammad Al-Baqir langsung mendatangi beliau dan mempekenalkan
diri.
Bagaimana dialognya? Berikut, dialog tersebut sebagaimana dijelaskan Ahmad Zarkasyi, Lc
dalam rumahfiqih.com edisi 3/4/14. Semoga bermanfaat.
Imam Muhammad Al-Baqir bertanya:
“kamu yang bernama Nu’man bin Tsabit yang dari kufah itu? Kamu
yang merubah agama kakekku (Nabi Muhammad saw) dengan qiyas?”
Imam Abu Hanifah menjawab; “Maadzallahu. Aku sama sekali tidak pernah
merubah agama kakek anda wahai guru dengan qiyas! Aku menggunakan qiyas pada perkara
yang memang tidak ada dalilnya dari al-quran dan sunnah serta qaol sahabiy
(perkataan sahabat)”
Imam Abu Hanifah meneruskan, “Sebagai bukti kalau aku tidak
merubah agama Muhammad saw dengan qiyas, aku punya 3 pertanyaan untuk anda, tua
guru! Mana yang lebih lemah, laki-laki atau wanita?”
Imam Muhammad Al-Baqir menjawab: “wanita lebih lemah dari laki-laki!”, Imam
Abu Hanifah: “baik, agama kakekmu katakan bahwa untuk laki-laki itu 2
jatah (waris), dan wanita satu jatah. Dan aku pun mengatakan demikian, sama seperti
kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakan bahwa wanita
dapat jatah 2 dan laki-laki satu, karena wanita itu lebih lemah dari laki-laki.
Karena ia lemah maka pantas untuk mendapat lebih. Tapi aku tidak katakana demikian.”
Imam Abu Hanifah berkata, “kedua, mana yang lebih utama,
puasa atau salat?”, Imam Muhammad Al-Baqir: “tentu salat lebih
utama dari puasa!”.
Imam Abu Hanifah: “ya. Salat lebih utama dari puasa. Agama
kakekmu bilang bahwa wanita yang haidh tidak mengqadah salatnya tapi mengqadha puasanya.
Dan aku pun berendapat seperti apa yang dikatakan oleh kakekmu. Kalau seandainya
aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakana wanita haidh harus mengqadah salatnya
bukan puasanya, karena salat lebih utama dari puasa.”
Imam Abu Hanifah: “ketiga, mana yang lebih najis, air mani
atau air kencing?”, Imam Al-Baqir: “air kencing lebih najis dari
air mani.”
Imam Abu Hanifah: “ya. Air kencing lebih najis daripada
air mani. Agama kakekmu juga katakana bahwa cukup wudhu untuk air kencing dan harus
mandi (janabah) untuk air mani. Dan aku pun mengatakan demikian! Kalau seandainya
aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakan bahwa untuk air kencing mandi, dan untuk
air mani cukup wudu saja, karena air kencing lebih najis daripada air mani.
Tapi aku tidak katakan begitu!”
Mendengar jawabannya itu, Imam Muhammad bin Ali langsung memeluk
Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan mencium keningnya.