Inilah Cara Imam Syafi'i dalam Membela Sunah
11/28/2015
Asy-Syafi’I berkata tentang dirinya dalam Manaqibu
Syafi’I milik al-Baihaqi juz I, “Di Baghdad saya digelari pembela sunah.”
Ibnu Hambal berkata, “Semoga Allah member rahmat kepada
asy-Syafi’I, sungguh ia telah menyelamatkan atsar.”
Abu Zahrah berkata, “Saya tidak mengetahui seseorang
yang lebih besar pembelaannya kepada Islam selain asy-Syafi’I dan tidak seorang
pun yang mempertahankan sunah Rasulullah serta mampu menyingkap kepalsuan suatu
kaum seperti beliau.”
Inilah beberapa faktor yang menunjukkan kemasyhuran
asy-Syafi’I dalam membela dan
memperjuangkan sunah sehingga ia digelari ‘PEMBELA SUNAH’. Inilah pula meda
kedua tempat asy-Syafi’I berjuang dalam pembaharuan. Perjuangan ini pada
perlawanannya terhadap penyelewengan-penyelewengan sunah pada zamannya.
Di zaman asy-Syafi’I timbul tiga penyelewengan dalam
masalah sunah. Penyelewengan pertama berpendapat bahwa hujjah itu hanya
bersandar pada al-Qur’an serta mengingkari sunah sebagai tasyri’, penyeleweng
kedua tidak mau menerima sunah sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri,
penyeleweng ketiga hanya menerima sunah yang mutawatir, sedangkan hadis ahad
tidak dianggap sebagai hujah.
Asy-Syafi’I telah menentang penyelewengan-penyelewengan
itu dengan lisan dan tulisannya, dan pembelaan dengan lisannya lebih banyak
dari pada dengan tulisan-tulisannya.
Adapun penyelewengan pertama tersebut dalam kitab
‘Jamaul Ilmi’ dengan judul ‘Babu Hikayatthaifah Allaty Raddatil Akhbar Kulaha’
(bab mengenai riwayat golongan yang mengingkari sunah seluruhnya), memuat
perdebatan dia dengan seorang intelektual yang condong pada golongan itu,
syubhat-syubhatnya dan dalil asy-Syafi’I untuk membatalkannya, serta keterangan
mengenai fungsi sunah sebagai hujah. Dalam kitab itu juga di bawah judul ‘Bab
mengenai perkataan orang yang menolak hadis ahad’, ia menentang penyelewengan
ini dan membawakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadis ahad itu dapat
dipakai sebagai hujah.
Di dalam kitab ar-Risalah, ia menentang
penyelewengan-penyelewengan ini, membentangkan dengan luas kritik-kritiknya
serja menjelaskan keganjilan-keganjilannya dengan dalil aqli dan naqli. Beliau
menetapkan bahwa sunah itu baik yang mutawatir maupun yang ahad dapat dipakai
sebagai hujah. Dengan keterangan yang kuat dan bahasa yang jitu, asy-Syafi’I
dapat menangkis serangan-serangan terhadap sunah dan mengenmbalikan hadis
kepada posisi yang sebenarnya, kemudian tersebarlah kitab-kitabnya di antara
murid-muridnya dan diterima oleh kaum muslimin dengan senang hati. Dari
situlah, timbul pergerakan yang penuh berkah dan kekuatan sehingga tampak
kebenaran dan jayalah sunah serta terungkaplah kekeliruan para penyeleweng.
Adapun pembelaannya terhadap sunah dalam hal menguatkan
metode fikih yang benar dengan bersandar pada hadis dan riwayat serta tidak
berlebih-lebihan dalam menggunakan pendapat akal. Ar-Razi berkata, “Orang
sebelum asy-Syafi’I terbagi dalam dua golongan: ashhabul hadis dan ashhabul
ra’yi.”
Ashhabul hadis mereka lemah dalam berdiskusi dan
berdebat dan kurang mampu memberikan pembuktian kekeliruan yang ditempuh
ashhabul ra’yi. Melalui mereka belum dapat ditemukan kekuatan dalam agama dan
kemenangan al-Kitab dan sunah. Adapun ashhabul ra’yi, usaha dan kemampuan
mereka tercurahkan untuk menetapkan apa yangmereka simpulkan dan mereka susun
dengan pikiran mereka, usara serta ijtihad tidak tercurahkan untuk membela
nash.
Adapun asy-Syafi’I betul-betul mengetahui nash
al-Qur’an dan sunah dan mendahului ushul fikih serta syarat-syarat berdalil
dengan nas itu. Bahkan ia telah meletakkan dan menyususn dasar-dasarnya serta
merevisi fasal-fasalnya. Selain itu, ia ahli berdiskusi dan berdebat.
Asy-Syafi’I menunjukkan dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang ada padanya,
sehingga sebagian besar para pendukung dan pengiut ashhabul ra’yi meninggalkan
pendapat mereka. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa asy-Syafi’ilah yang
dimaksud dengan hadis tajdid.
Asy-Syafi’I telah menjelaskan adanya keseimbangan dan
keserasian antara nash dan akal tanpa berlebihan atau berat sebelah. Dan,
mengembalikan manusia pada jalan tengah yang selamat, menolong dan membela
sunah serta membukukan cara-cara istimbath hokum. Asy-Syafi’I telah memberikan
contoh pembaharuan dalam bidan ijtihad dan tasyri’ serta menghidupkan dan
membangkitkan syiar agama yang penting.
Dikutip dari Bustami M Said, Pembaharu dan Pembaharuan
dalam Islam. Judul asli: Mafhum Tajdiduddin dengan alih bahasa Mahsun
al-Mundzir. Pusat Studi Ilmu dan Amal Institut Pendidikan Darussalam Gontor
Ponorogo.