Sejarah Hajar Aswad Dicuri
9/29/2015
Kota Mekah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia
memiliki hukum-hukum yang telah ditetapkan syariat, sebagai bukti yang
menunjukkan kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan perbuatan maksiat. Meski
larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah kaum Muslimin,
khususnya kota Mekah dan Ka’bah, pernah terjadi pelanggaran yang sangat
memilukan dan menodai Ka’bah secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan Hajar
Aswad.
Hajar Aswad
merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
نَزَلَ
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ
فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
“Hajar Aswad turun dari surga, dalam kondisi
berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adam-lah yang
membuatnya sampai berwarna hitam.” [Hadits shahih riwayat at Tirmidzi.
Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877].
Tentang
keutamaannya yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِإنَّ
لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ
“Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua
bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara
yang benar.” [HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat
Shahihul-Jami’, no. 2184.].
Dari Ibnu ‘Umar,
saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan
Rukun Yamani) akan menghapus dosa.”[ Hadits shahih riwayat an Nasaa-i.
Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919].
Hajar Aswad, dahulu
berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada
tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid
dengan cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan
bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.
Adalah Abu Thahir,
Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada
masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan
peperangan terhadap kaum Muslimin. Kota yang suci, Mekah dan Masjidil Haram
tidak luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan,
perampokan dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan
berusaha lari untuk menyelamatkan diri [Al
Bidayah wan Nihayah, 11/187].
Kisahnya, pada
musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur ad
Dailami bertolak menuju Mekah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun,
tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah
(salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka
merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak
jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.
Sementara itu,
pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga mendapatkan
balasan yang sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan,
menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa
manusia. Dengan congkaknya ia berkata : “Saya adalah Allah. Saya bersama Allah.
Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan
mereka”.
Massa berlarian
menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah. Namun, mereka
tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi’ah Qaramithah ini menebasnya.
Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang
mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli hadits.
Usai menuntaskan
kejahatannya yang tidak terkira terhadap para jamaah haji, Abu Thahir
memerintahkan pasukan untuk mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut
ke dalam sumur Zam Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi
Masjidil Haram.
Kubah sumur Zam Zam
ia hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas
kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia
meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut
talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu
Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah. Kemudian, ia
memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki
memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada
menantang, Abu Thahir sesumbar : “Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari
Neraka Sijjil?”
Peristiwa
penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekah dan keluarganya dengan didukung
sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekah berusaha membujuk Abu Thahir agar
mau mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki
Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir
tidak bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi
korban berikutnya. Abu Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa
Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia
bawa pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22
tahun.
Menurut Ibnu
Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu, karena mereka sebenarnya
kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim Fathimiyyun yang telah
menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka
bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad ‘Ubaidillah bin Maimun al Qadah.
Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku
telah masuk Islam, dan mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi
Muhammad). Banyak orang dari suku Barbar yang mempercayainya. Hingga pada
akhirnya, ia dapat memegang kekuasan sebagai kepala negara di wilayah tersebut.
Orang-orang Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah)
akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.
Perbuatan Abu
Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh
Ibnu Katsir dikatakan : “Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil
Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”.
[Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu
Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192].
Setelah masa 22
tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan.
Tetapnya pada tahun 339H.
Pada saat
mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun
berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad
dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat
menggembirakan segenap kaum Muslimin.
Pasalnya, berbagai
usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam at Turki
pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran
ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini
berkilah: “Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan
mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang bersangkutan”.
Pada tahun 339 H,
sebelum mengembalikan ke Mekah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke
Kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang
dapat menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : “Kami dahulu
mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan
perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar”.
Akhirnya, Hajar
Aswad dikirim ke Mekah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai
di Mekah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H [Al
Bidayah wan Nihayah, 11/265].
Dikisahkan oleh
sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah
terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta. Punuk-punuk onta sampai
terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan
satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan.
Sumber :
Shahih
Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.
Shahih
Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.
Ihkamil-Ahkam
Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet.
I, Th. 1423 H.
Al
Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul
Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.
Wamdhul-‘Aqiq
min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekah Mukaramah, Cet. I.
Th. 1425 H.
Shahih
Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif.
Shahih
Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al Ma’arif.
Shahihul-Jami’
wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th.
1408.
Taisiril
Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.
Al
Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq
Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
__
Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006.