IJTIHAD dalam Islam [Penjelasan Lengkap]
7/26/2016
Menurut Salthut (ulama Mesir), sumber hukum Islam terdiri atas tiga komponen, yaitu al-Qur’an, hadis, dan ar-ra’yu (ijtihad). Rumusan ini diambil dari hadis Rasulullah saw. ketika berdialog dengan Muaz bin Jabal pada waktu akan diutus ke Yaman.
Artinya: “Bagaimana enkau memutuskan jika diserahkan kepadamu urusan peradilan?” Ia (Muaz) menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah.” Nabi bertanya lagi, “Jika tidak engkau jumpai dalam Kitabullah?” Ia menjawab, “Dengan sunah Rasulullah sa.” Lalu Nabi bertanya lagi, “Jika tidak engakau dapati juga dalam sunah Rasulullah, dan tidak juga di Kitabullah?” Muaz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan ra’yi (akalku).” Maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sebagaimana Rasulullah saw. telah meridainya.” (H.R. Tirmizi)
Menurut bahasa, kata ijtihad (bahasa Arab: ) merupakan derivatif dari kata jahdu atau juhd. Kata al-juhd berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan kata al-jahdu berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan). Dalam al-Quran disebutkan:
Artinya: “... Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka...” (Q.S. at-Taubah: 79)
Kata al-jahdu beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan. Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
Artinya: “...Bacalah selawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam do’a...” (H.R. Nasa’i)
Dengan demikian kata ijtihad dapat dimaknai “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.”
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dalam pengertian umum ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energi sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan. Adapun pengetian ijtihad secara istilah sebagaimana diungkapkan al-Ghazali adalah:
“Pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu tentang hukum syarak.”
Dari defenisi ini dipahami bahwa dalam ijtihad itu seorang mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengistinbatkan hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah.
Ijtihad itu hanya menjadi wewenang mujtahid, karenanya al-Ghazali membatasi ijtihad dalam definisinya tersebut untuk mujtahid saja. Atas dasar ini, pengerahan segala kemampuan oleh orang awam untuk mengistinbatkan hukum tidak dapat disebut ijtihad.
Abu Zahrah dalam buku Ushul fiqhnya mendefenisikan ijtihad sebagai berikut :
“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik dalam mengistinbatkan hukum syarak maupun dalam penerapannya.”
Berdasarkan defenisi ini, ijtihad dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
Pertama, Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbatkan hukum dari dalil. ijtihad bentuk ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dalam ushul fiqh disebut mujtahid. Menurut jumhur ushul fiqh, ijtihad bentuk ini mungkin saja mengalami kemandekan masa-masa tertentu bilamana hasil ijtihad masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dikalangan umat Islam.
Kedua, Ijtihad Tathbiqi yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum Islam. Ijtihad ini akan selalu ada sepanjang masa selama Umat Islam melaksanakan ajaran agama mereka. Mujtahid yang melakukan ijtihad ini berperan untuk menerapkan hukum Islam, termasuk hasil ijtihad ulama terdahulu.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut ar-ro’yu mencakup dua pengertian:
Jadi Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah swt. di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Adapun fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Quran dan Sunah. Meski al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh al-Quran dan Hadis. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al-Quran dan Hadis. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan al-Quran dan Hadis.
Namun jika persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan Hadis, maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham al-Qur’an dan Hadis yang disebut dengan mujtahid
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’: 59)
Muhammad Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
a. balig,
b. berakal sehat,
c. kuat daya nalarnya, dan
d. beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut:
a. Mengetahui al-Qur’an,
b. Memahami Sunnah,
c. Memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan
d. Mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
a. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan mendalam, seperti nahwu, sharaf, bayan, ma‘anie dan badie, Sehingga dapat mengetahui kalam sharih, kalam zahir, mujmal, haqiqat, majaz, ‘aam, khash, muhkam, mutasyabih, mutlaq, muqayyad.
b. Mengetahui ilmu ushul al-fiqh,
c. Mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
d. Mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
a. Tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
b. Mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan
c. Memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
« كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ « , قَالَ : أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ . قَالَ : « فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ « , قُلْتُ : بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . قَالَ : « فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ؟ « , قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو . قَالَ : فَضَرَبَ صَدْرِي بِيَدِهِ ، وَقَالَ : « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ «
Artinya: “Bagaimana enkau memutuskan jika diserahkan kepadamu urusan peradilan?” Ia (Muaz) menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah.” Nabi bertanya lagi, “Jika tidak engkau jumpai dalam Kitabullah?” Ia menjawab, “Dengan sunah Rasulullah sa.” Lalu Nabi bertanya lagi, “Jika tidak engakau dapati juga dalam sunah Rasulullah, dan tidak juga di Kitabullah?” Muaz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan ra’yi (akalku).” Maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sebagaimana Rasulullah saw. telah meridainya.” (H.R. Tirmizi)
1. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, kata ijtihad (bahasa Arab: ) merupakan derivatif dari kata jahdu atau juhd. Kata al-juhd berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan kata al-jahdu berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan). Dalam al-Quran disebutkan:
وَ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Artinya: “... Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka...” (Q.S. at-Taubah: 79)
Kata al-jahdu beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan. Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَ اجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya: “...Bacalah selawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam do’a...” (H.R. Nasa’i)
Dengan demikian kata ijtihad dapat dimaknai “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.”
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dalam pengertian umum ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energi sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan. Adapun pengetian ijtihad secara istilah sebagaimana diungkapkan al-Ghazali adalah:
الْإِجْتِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِىْ طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ
“Pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu tentang hukum syarak.”
Dari defenisi ini dipahami bahwa dalam ijtihad itu seorang mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengistinbatkan hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah.
Ijtihad itu hanya menjadi wewenang mujtahid, karenanya al-Ghazali membatasi ijtihad dalam definisinya tersebut untuk mujtahid saja. Atas dasar ini, pengerahan segala kemampuan oleh orang awam untuk mengistinbatkan hukum tidak dapat disebut ijtihad.
Abu Zahrah dalam buku Ushul fiqhnya mendefenisikan ijtihad sebagai berikut :
الْإِجْتِهَادُ هُوَ اسْتِفْرَاغُ الْجُهْدِ وَ بَذْلُ غَايَةِ الْوُسْعِ إِمَّا فِى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ وَ إِمَّا فِى تَطْبِيْقِهَا
“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik dalam mengistinbatkan hukum syarak maupun dalam penerapannya.”
Berdasarkan defenisi ini, ijtihad dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
Pertama, Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbatkan hukum dari dalil. ijtihad bentuk ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dalam ushul fiqh disebut mujtahid. Menurut jumhur ushul fiqh, ijtihad bentuk ini mungkin saja mengalami kemandekan masa-masa tertentu bilamana hasil ijtihad masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dikalangan umat Islam.
Kedua, Ijtihad Tathbiqi yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum Islam. Ijtihad ini akan selalu ada sepanjang masa selama Umat Islam melaksanakan ajaran agama mereka. Mujtahid yang melakukan ijtihad ini berperan untuk menerapkan hukum Islam, termasuk hasil ijtihad ulama terdahulu.
2. Tujuan dan Fungsi Ijtihad
Memperhatikan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan lapangan ijtihad sebagai berikut:- Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada peranan nalar.
- Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nas, nalar dapat menjalankan fungsi formulasi.
- Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nas secara penunjukan yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut ar-ro’yu mencakup dua pengertian:
- Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Quran dan As-Sunnah.
- Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Jadi Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah swt. di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Adapun fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Quran dan Sunah. Meski al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh al-Quran dan Hadis. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al-Quran dan Hadis. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan al-Quran dan Hadis.
Namun jika persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan Hadis, maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham al-Qur’an dan Hadis yang disebut dengan mujtahid
3. Sumber Hukum Ijtihad
Di antara sumber hukum yang menetapkan bahwa ijtihad merupakan dasar sumber hukum adalah al-Qur’an, hadis, dan secara akal (aqliyah)a. Al-Qur’an
Allah swt. berfirman di dalam Surah an-Nisa’ ayat 59.Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’: 59)
b. Hadis
Hadis Muaz ketika diutus oleh Rasulullah saw. untuk menjadi hakim di Negeri Yaman, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.c. Aqliyah
Allah swt. menjadikan syariat Islam sebagai syariat terakhir yang dapat berlaku bagi semua orang, suku, bangsa, dan pada segala zaman. Al-Qur’an dan hadis merupakan kitab yang bersifat universal dan global sehingga masih banyak hal yang tidak dispesifikasikan dalam keduanya. Hal itu, berarti kebutuhan manusia untuk berijtihad yang diambil dari kedua sumber tersebut mutlak dibutuhkan, sehingga dapat menyelesaikan berbagai persoalan manusia yang semakin lama semakin kompleks dan berkembang. Oleh karena itu, ijtihad secara nalar (rasional) untuk saat ini sangat diperlukan.4. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.Muhammad Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
a. balig,
b. berakal sehat,
c. kuat daya nalarnya, dan
d. beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut:
a. Mengetahui al-Qur’an,
b. Memahami Sunnah,
c. Memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan
d. Mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
a. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan mendalam, seperti nahwu, sharaf, bayan, ma‘anie dan badie, Sehingga dapat mengetahui kalam sharih, kalam zahir, mujmal, haqiqat, majaz, ‘aam, khash, muhkam, mutasyabih, mutlaq, muqayyad.
b. Mengetahui ilmu ushul al-fiqh,
c. Mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
d. Mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
a. Tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
b. Mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan
c. Memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
5. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad memiliki kedudukan sendiri di dalam hukum Islam. Berbeda dengan al-Quran dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut:- Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusanyang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
- Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagiseseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain.
- Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdah (murni) Sebab urusan ibadah mahdah hanya oleh Allah swt. dan Rasulullah saw..
- Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan hadis.
- Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yangmenjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
- Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan Hadis