Syukurku tanpa Syarat
11/12/2015
Cinta tanpa syarat. Begitulah harapan para pecinta untuk dapat
mencintai sosok yang ia. Harapan itu sebagai bukti bahwa dia benar-benar
mencintai sepenuh hati, apa adanya, tanpa syarat barang satu pun.
Jika cinta saja bisa tanpa syarat, sepatutnya, sebagai Muslim kita juga patut menjaga syukur tanpa syarat kepada Sang Pemberi Nikmat.
Allah SWT dalam beberapa ayat Alquran banyak mengajak para hamba-Nya
untuk mudah bersyukur. Bukan karena Dia membutuhkan rasa terimakasih dari
manusia.
Bersyukur ialah sebuah
kebutuhan ruhani, baik diucapkan melalui lisan dengan ‘Alhamdulillah’, juga berupa
perbuatan dengan memberdayakan apa yang kita dapatkan untuk kemaslahatan
manusia.
Bersyukur juga sebagai bukti kelemahan bahwa kita sama sekali tidak dapat
memberikan manfaat dan mudharat bagi diri sendiri, terlebih kepada orang lain.
Karena ketidakmampuan itulah, manusia dianjurkan untuk mensyukuri apa yang ia
peroleh, baik itu rezeki, kesehatan, ketentraman hidup, kebersamaan bersama
orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat nan terhingga yang
tak kuasa menyebutkannya.
Itu semua Allah limpahkan kepada manusia karena Allah bersifat Wahhab. Wahhab
berarti Maha Memberi segala sesuatu baik yang dipinta ataupun tidak dipinta
hamba-Nya.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa pemberian Allah bersifat terus-menerus, tiada
henti, berkesinambungan, dunia maupun akhirat, kepada siapa pun. Terlepas si
hamba mensyukurinya atau tidak, karena memang pada hakikatnya Allah tidak
membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Pemberi tanpa pamrih.
“... jika engkau bersyukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku untukmu. Namun, jika kamu kufur (enggan bersyukur), sungguh adzab-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)
Dalam perjalanan hidup, manusia tergolong menjadi dua: golongan syukur dan
golongan kufur. Oleh karenanya, tercermin dari surah di atas bahwa janji Allah
terlimpah untuk dua golongan manusia, baik yang syukur maupun yang kufur. Jika
kita mensyukuri nikmat Allah apa pun bentuknya, seberapa pun banyaknya, maka
nikmat itu akan bertambah.
Sebagai manusia biasa, terkadang kita alpa. Kita hanya sibuk mensyukuri
pemberian-Nya yang enak dan tampak. Namun, lupa untuk bersyukur saat memeroleh
musibah. Saat musibah datang, yang meluncur dalam doa-doa ialah keluhan dan
kesedihan hingga penantian kapan musibah itu hilang.
Padahal, dalam terhimpit musibah sekalipun kita dianjurkan untuk tetap
bersyukur, sebagai bukti bahwa itu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang
Allah.
Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan, “Wahai malaikat Jibril, datanglah kepada
hamba-Ku dan kirimkanlah ia sebuah musibah, karena Aku rindu akan rintihannya.”
(HR Muslim).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa diuji dengan masalah ialah bukti bahwa Allah
merindu rintihan dari para hamba-Nya. Tak inginkah kita dirindu?
Akhirnya, hakikat bersyukur tanpa syarat ialah kita tidak perlu menunggu
datangnya nikmat lantas bersyukur. Tapi, bersyukur sebenarnya ialah
senantiasa menjaga ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kasih atas segala
nikmat yang telah, sedang dan akan kita dapatkan. Wallahu
a’lam.
Oleh: Ina Salma Febriany
dalam republika.co.id, 27/5/14 dengan judul 'Bersyukur tanpa Syarat'