Kedekatan Kyai Hasyim Asy'ari dan Kyai Ahmad Dahlan
11/27/2015
Maka penjelasan Salim A Fillah tentang sepak terjang KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan dalam menegakkan Islam di Indonesia sejak sebelum bangsa ini merdeka sangat menarik untuk dicermati. Tulisan itu beliau dedikasikan untuk menyambut muktamar NU dan Muhammadiyah di tahun 2015 kemarin. Maka berikut adalah intisari dari penjelasan tersebut dalam kulwitnya dengan perubahan bahasa disana-sini agar ‘enak’ untuk dibaca.
__
Sebuah bincang tentang 4 orang murid Syaikhana Cholil Bangkalan yang akan jadi tonggak dakwah Indonesia. Dari 4 orang murid Syaikhana Cholil itu, NU, Muhammadiyah, MIAI dan Masyumi terpondasi.
Awal 1900-an, empat murid telah menamatkan pelajarannya pada Kyai Cholil di Bangkalan Madura. Menyeberangi selat, dua murid tersebut menuju ke Jombang dan dua lainnya ke Semarang.
Dua murid yang ke Jombang, masing-masing dibekali cincin dan pisang mas. Adalah kakek Cak Nun mendapatkan cincin dan KH. Romli, ayah KH Mustain Romli mendapat pisang emas.
Adapun dua murid yang ke Semarang adalah Hasyim Asy’ari dan Muhammad Darwis. Masing-masing diberi kitab untuk dingajikan pada Kyai Soleh Darat.
Kyai Soleh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli falak. Keluarga besar RA Kartini mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan Kartini-lah, Kyai Soleh Darat menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami.
Pada Kyai Soleh Darat, Hasyim dan Darwis (yang kemudian berganti nama jadi Ahmad Dahlan) belajar tekun dan rajin, lalu ‘diusir’. Kedua sahabat itu: Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan, diperintahkan Kyai Soleh Darat untuk segera ke Mekah guna melanjutkan belajar.
Setiba di Mekkah, keduanya nan cerdas menjadi murid kesayangan Imam Masjidil Haram, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Disana, tampaklah kecenderungan masing-masing. Hasyim Asy’ari yang sangat mencintai hadist, sementara Ahmad Dahlan tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam.
Tentu riwayat jalan berilmu mereka sangat panjang. Maka cerita pun berlanjut pada kepulangan mereka ke tanah air dan gerakan nan dilakukan.
Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang. Disana, kakek Cak Nun menantinya penuh rindu. Kakek Cak Nun nan ‘sakti’ inilah yang menaklukkan kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng untuk didirikan pesantren.
Hasyim Asy’ari, dia mohon agar mulai berkenan mulai mengajar disitu. Beliau membuka pengajian ‘Shahih Al Bukhari’ disana. Maka kita jadi paham, satu satunya orang yang bisa bujuk Gus Dur keluar istana saat impeachment dulu ya Cak Nun. Ini soal nasab.
Saat disuruh mundur orang lain, Gus Dur biasanya jawab: “saya kok disuruh mundur, maju aja susah, harus dituntun!”. Tapi Cak Nun tidak menyuruhnya mundur. Kata beliau “Gus,koen wis wayahe munggah pangkat!” Sudah saatnya naik jabatan!.”
Adapun KH Romli Tamim yang juga di Jombang mendirikan pesantren di Rejoso, kelak jadi pusat Thariqah Al Mu’tabarah yang disegani.
Kembali ke Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. CATAT INI : Beliaulah orang yang menjadikan pengajian hadist penting dan terhormat. Sebelum Hadratusy Syaikh memulai ponpes Tebuireng-nya dengan kajian Shahih Al Bukhari, umumnya ponpes cuma ajarkan tarekat.
Tebu Ireng makin maju. Santri berdatangan dari seluruh nusantara. Hubungan baik terjalin dengan Kyai Hasbullah, Tambakberas. Putra Kyai Hasbullah, Abdul Wahab kelak jadi pendiri organisasi islam terbesar yang dinisbatkannya pada Hadratusy Syaikh. Konon selama KH Abdul Wahab Hasbullah dalam kandungan, ayahnya mengkhatamkan Al-Quran 100 kali diperdengarkan pada si janin.
Tebuireng juga berhubungan baik dengan KH Bisyri Syamsuri Denanyar. Abdul Wahid Hasyim menikahi putri beliau (ibu Gus Dur).
KH Bisyri Syansuri juga beriparan dengan KH Abdul Wahab Hasbullah. Inilah segitiga pilar NU: Tambakberas – Tebuireng – Denanyar.
Satu waktu, ada santri Hadratusy Syaikh melapor, dari Yogyakarta. Ada gerakan yang ingin memurnikan agama dan aktif beramal usaha. “O kuwi Mas Dahlan”, ujar Hadratusy Syaikh. “Ayo padha disokong!” ” Itu Mas Dahlan, ayo kita dukung sepenuhnya.
KH Ahmad Dahlan sang putera penghulu keraton itu amat bersyukur. Beliau kirimkan hadiah. Hubungan kedua keluarga pun makin akrab. Sampai generasi keempat, putera-puteri Tebuireng yang kuliah di Yogyakarta selalu kos di keluarga KH Ahmad Dahlan, Kauman. Demikian pula Gus Dur.
Bahkan sebagai bentuk dukungan pada perjuangan KH Ahmad Dahlan, Hadratusy Syaikh menulis kitab ‘Munkarat Maulid Nabi wa Bida’uha.’ Bagi Hadratusy Syaikh, itu banyak bid’ah dan mafsadatnya. Uniknya, satu satunya Kyai NU yang tidak diperingati HAULnya, ya beliau.
Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara anggota Muhammadiyah dan kalangan pesantren, Hadratusy Syaikh turun tangan.
“Kita dan Muhammadiyah sama. Kita Taqlid Qauli (mengambil PENDAPAT ‘ulama Salaf’) dan mereka Taqlid Manhaji (mengambil METODE)”.
Tetapi dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah, para murid menghendaki kalangan pesantren pun terorganisasi baik. NU berdiri. Direstui Hadratusy Syaikh, Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya berangkat ke Mekah menghadap raja Saudi sampaikan aspirasi Madzhab. Kepulangan mereka disambut Hadratusy Syaikh dengan syukur sekaligus meminta untuk terus bekerjasama dengan Muhammadiyah.
Atas prakarsa Hadratusy Syaikh, KH Mas Mansur (tokoh Muhammadiyah) dan tokoh lain, terbentuklah Majlisul Islam A’la Indunisiya (MIAI).