Kisah di Balik Perang Jamal
9/22/2015
Perang jamal adalah perang yang dipimpin oleh tiga orang
mulia yaitu Istri Nabi ‘A'isyah binti Abu Bakar, Thalhah Bin Ubaidillah dan
Zubeir bin Awwam melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan maksud menuntut
agar khalifah Ali menghukum pembunuh Utsman. Meskipun hampir dipastikan bahwa
tidak seorang-pun yang tahu tentang siapa sebenarnya pembunuh Utsman bin affan,
namun karena suatu ijtihad yang diyakini-lah,
‘Aisyah, Thalhah dan Zubeir berperang melawan Amirul mukminin Ali bin
Abi Thalib yang dikenal dengan perang jamal (Waqi’atul Jamal).
Dalam satu riwayat, di tengah perang jamal yang memakan
korban lebih dari 10.000 orang itu sedang berkecamuk ada sebuah kisah yang
mengharu biru. Kisah itu adalah saat Ali mengutus seseorang untuk menemui kedua
sahabatnya, yaitu Thalhah dan Zubeir.
Akhirnya ketika malam hari tiba, saat kedua pasukan sedang
beristirahat, mereka berdua datang dan bertemulah ketiga sahabat yang dulu
pernah hidup bersama Nabi, pernah berperang
bersama Nabi, dan tahu persis turunnya wahyu. Mereka bertiga berpelukan,
tak terasa air mata mereka bertiga meleleh. Kenangan demi kenangan terbayang
begitu indah. Namun kini keadaan terasa
menyakitkan dan menyedihkan. Dulu pedang mereka berbaris seayun, langkah
mereka sama untuk perang melawan kaum kafir, tangan mereka bergandengan. Namun kini,
mereka harus berhadapan saling menghunus pedang.
Sesudah Ali menghapus air mata, Ali memegang tangan Thalhah
dan menatap dalam lalu berkata, “ingatkah engkau wahai Thalhah, mengapa Allah
menurunkan ayat hijab bagi istri-istri Nabi? dan mengapa Allah melarang kita
untuk menikahi janda beliau? Bukankah ayat hijab itu turun karena Nabi
melihatmu berada bersama ‘Aisyah..? Wahai, Thalhah. Allah melarangmu mengajak
wanita muslimah membuka hijab, tapi mengapa engkau sekarang membawa ‘Aisyah ke
medan perang?"
Mendengar ucapan Ali, Thalhah semakin menangis
tersendu-sendu.
Lalu Ali berkata lagi, “Ingatkah engkau, wahai sahabatku, bahwa
ayat yang melarang untuk menikahi janda-janda Nabi itu juga turun karena niatmu
untuk menikahi ‘Aisyah jikalau Nabi wafat?”
Mendengar ucapan Ali, Thalhah makin tak kuasa menahan
tangis, ia lalu memeluk Ali dan menangis di bahunya. Hal itulah yang membuat
mereka sepakat berdamai untuk mengahiri perang.
Namun fakta berkata lain. Keesokan harinya tak disangka, api
fitnah itu kembali menyemburat tersebab oleh adu domba dari pihak yang tidak
setuju dengan perdamaian.
Akibatnya, dua orang sahabat nabi itu (Thalhah dan Zubeir) terbunuh.
Ali bin Abi Thalib dengan duka yang sangat dalam, sore itu juga menggali sendiri
kuburan untuk kedua sahabatnya itu.
Pada saat penguburan selesai, Ali menggendong putra Thalhah
yang masih kecil. Ali berbisik di telinga anak kecil itu,
“Nak, aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan Allah dalam surat Al-Hijr ayat 47 'Dan Kami lenyapkan rasa dendam dalam hati mereka, sedang mereka bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (surga).”